Mohon tunggu...
Frid gato Ma
Frid gato Ma Mohon Tunggu... Nelayan - KEA

ULTRAMEN _ VOLUNTARISME

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pluralisme dan Politik

23 Desember 2018   10:41 Diperbarui: 23 Desember 2018   10:49 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

versi 2. (kompetisi esay kompak)

#kaktus

( Membangun Depp Dialogue; Memupuk Keberagaman)

Pada tanggal 28 Oktober 1928, Negara Kesatuan Republik Indonesia merekam satu peristiwa yang amat penting dalam sejarah. Barisan para pemuda yang mempunyai kesadaran bersama tentang masa depan bangsa ini menyalahkan semangat untuk mengikrarkan kedaulatan negara. Peristiwa yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda merupakan puncak pengukuhan serta pengakuan keberagaman dalam wadah yang satu; satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yaitu Indonesia. Pengakuan dalam wadah yang satu ini bukanlah penyeragaman yang mengubah dan meleburkan identitas masing-masing elemen bangsa, tetapi justru menegaskan keberagaman atau kebinekaan.

Diskursus tentang pluralisme dalam bingkai etika politik dan demokrasi mendapat sorotan tajam seiring dengan menguatnya kesadaran tentang politik identitas dan politik diferensiasi. Politik identitas lahir dari kelompok partikular sebagai usaha untuk menangkal bahaya dominasi mayoritas liberal dan arus globalisasi dewasa ini. Secara gamblang kita memahami bahwa politik identitas pada mulanya lahir dari semangat rasa kesukuan, semangat individu, agama atau pun kelompok serta komunitas tertentu. Politik ini bersifat afirmasi ke dalam. Sedangkan politik diferensiasi adalah politik yang terbingkai dalam keniscayaan kemajemukan hidup. Politik diferensiasi menuntut kita untuk mengakui menghormati takaran individual masing-masing atau keunikan spesifik dari yang lain.

Suatu pengakuan tentang tak terhindarkannya perselisihan paham yang rasional tentang kebaikan sesungguhnya sering kali digambarkan sebagai penerimaan terhadap pluralisme atau keberagaman. Jhon Rawls dalam salah satu tesisnya menyatakan bahwa semua masyarakat demokratis modern dicirikan oleh pluralisme doktrin-doktrin komprehensif (religius, filosofis dan moral) yang tidak bersepadanan namun rasional. Keberagaman atau kemajemukan dilihat sebagai nyawa yang harus terus dihidupi. inilah upaya pengaktusan terhadap potensi yang dihidupi sebagai bangsa yang ber-bhinneka tunggal ika;  bahwa kehidupan suatu bangsa tidak terlepas dari pluralisme atau keberagaman.

Manusia dilihat sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Keberadaan manusia tidak bisa terlepas dari keakuan dan juga kekitaan. Di satu pihak menimbulkan konflik dalam diri manusia itu sendiri dan dengan sesamanya, tetapi di lain pihak juga membuat manusia dalam segala dimensinya menjadi menarik. Pluralisme yang nyatanya persifat paradoksal. Menarik di satu pihak namun dipihak lain timbul masalah.

Persoalan paling mendasar yang kemudian hadir sebagai rajutan dari kamejemukan  di atas ialah timbul ketaksepadanan ideologi. Berbagai macam konflik muncul dan bahkan mengatasnamakan agama atau kepercayaan. 

Situasi anomis yang membuat opini dan fakta sulit untuk dibedakan pun tak terelakan. Keberagaman hidup masyarakat pun terancam dan mengalami apa yang disebut erosi nilai. Salah satu contoh ialah "politik kata-kata" capres  yang akhir-akhir ini buming di media luring maupun daring menjadi bukti nyata bagaimana politik pengakuan atau diferensiasi masih cukup sulit untuk ditegakan. 

Pengakuan terhadap keberagaman belum mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Tiap orang masih menganut ideologi atau pemahaman yang masih bersifat keakuan. Toleransi dan sikap saling menghargai masih nihil aplikasi. Masihkah kita berkoar bahwa Indonesia adalah negara paling toleran? Ini hanya salah satu anomali yang masih sulit dijelaskan.

Realitas ini merupakan penyakit yang mengidap pribadi-pribadi yang oleh penulis disebut sebagai manusia tunamoral. Penyakit yang berdampak buruk pada persatuan dan kesatuan bangsa. Ideologi-ideologi radikal manusia tunamoral akan terus berkembang, hingga menimbulkan kaos dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara tumbuh dengan budaya intoleransi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun