Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerohanian Bertumbuh dalam Keheningan dan Persekutuan

12 November 2019   10:54 Diperbarui: 12 November 2019   12:51 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu ciri khas Gereja Katolik adalah Apostolik. Apostolik berarti diutus, maksud aslinya menunjuk pada ke-12 Rasul, utusan Yesus.

Sifat Apostolik juga menunjuk pada kegiatan para Rasul bersama dengan Yesus dan pasca Yesus wafat dan bangkit.

Gereja Katolik dalam zaman para Rasul pasca Yesus bangkit (baca: Gereja Perdana), menunjuk jelas pada iman akan kebangkitan Yesus Kristus.

Gereja Katolik berdiri di atas kebangkitan yang diwartakan dan diwariskan oleh para Rasul.

Dalam semangat kesinambungan dan keterikatan spiritual dan imaniah secara tak terpisahkan, kini pewartaan itu dilanjutkan oleh orang-orang yang terpilih secara khusus, yang disebut kaum hirarkis yakni Uskup, Imam dan Diakon.

Paus Fransiskus dalam Surat Apostolik Gaudete et Exultate, sembari meneladani kegembiraan Kristus untuk melayani dan berkorban, ia menandaskan bahwa kebajikan yang perlu ada dalam nubari para pewarta, di tengah zaman ini dijejali dengan berbagai kegembiraan dan sukacita semu ialah mereka perlu bergembira dan bersukacita dalam melayani sebagaimana Kristus sendiri bergembira dan bersukacita.

Apa yang ditandaskan oleh Paus, tentu bukanlah suatu kegembiraan psikologis semata, melainkan kegembiraan dihayati dan dilakukan sebagai daya dorong rohani sembari menghayati ajaran Kristus tentang bagaimana seharusnya manusia saling memperlakukan.

Dalam ret-ret hari kedua, yang dibimbing oleh Rm. Rosindus Tae, Pr, para Diakon Keuskupan Atambua, yang sedang mempersiapkan diri untuk ditahbiskan menjadi imam, Mena, 21 November 2019, para Diakon diarahkan untuk memahami betul, tentang posisi seorang imam di tengah perkembangan dunia ini.

Renungan yang disajikan oleh Rm. Rosindus, sungguh menggugah para Diakon, terutama karena apa yang dibeberkan oleh Rm. Rosindus sebagai pembimbing ret-ret sungguh menyentuh kenyataan zaman ini.

Poin-poin yang dikemukakan ialah tentang mentalitas materialistik, konsumtif dan egoistik.

Imamat yang suci itu, bukannya dilatriakan demi Kristus, malah dilatriakan pada hal dan perbuatan material serta konsumtif. Akhirnya imamat dan hidup sebagai imam, mudah hancur dan tercederai karena nafsu konsumsi duniawi lebih kuat daripada semangat untuk membaktikan diri dalam Kekuatan Sang Pemilik Imamat dan demi umat Allah.

Saya sungguh terkesima terutama karena keheningan yang mendalam, akal budi dan kehendak mudah dihantarkan untuk menyadari posisi seorang imam dan tantangannya dalam keasliannya.

Sungguh keheningan menumbuhkan keaslian untuk menemukan dalam perjumpaannya dengan kesadaran yang berkanjang dalam nurani Allah.

Permenungan ini saya hasilkan dalam keheningan itu, dan semoga apa yang saya tulis ini bukanlah huruf-huruf mati.

Hari-hari ret-ret ini merupakan hari di mana keberanian tumbuh untuk menemui keaslian dalam ranjang keheningan.

Di dalam ranjang keheningan, tubuh dan jiwa terlentang tanpa kata untuk mendengarkan Allah siap berbicara.

Apa yang dibicarakan Allah, seringkali tidak didengarkan karena kuping-kuping para insan lebih asyik bersindikat dengan keping-keping logam yang sarat niat jahat.

Sungguh berat tetapi bukan tanpa solusi. Berat berarti beban melampaui tenaga dan kapasitas. Daya tampung insan sesungguhnya hanya dapat bergerak dan dikerahkan dalam keheningan bersama Allah untuk menentukan langkah-langkah yang tepat dalam perjumpaannya dengan tenaga-tenaga yang dirasakan.

Salah satu ciri khas Gereja Katolik adalah Apostolik. Apostolik berarti diutus, maksud aslinya menunjuk pada ke-12 utusan Yesus. 

Sifat Apostolik juga menunjuk pada kegiatan para Rasul bersama dengan Yesus dan pasca Yesus wafat dan bangkit. 

Gereja Katolik dalam zaman para Rasul pasca Yesus bangkit (baca: Gereja Perdana), menunjuk jelas pada iman akan kebangkitan Yesus Kristus. 

Gereja Katolik berdiri di atas kebangkitan yang diwartakan dan diwariskan oleh para Rasul. 

Dalam semangat kesinambungan dan keterikatan spiritual dan imaniah secara tak terpisahkan, kini pewartaan itu dilanjutkan oleh orang-orang yang terpilih secara khusus, yang disebut kaum hirarkis yakni Uskup, Imam dan Diakon.

Paus Fransiskus dalam Surat Apostolik Gaudete et Exultate, sembari meneladani kegembiraan Kristus untuk melayani dan berkorban, ia menandaskan bahwa kebajikan yang perlu ada dalam nubari para pewarta, di tengah zaman ini dijejali dengan berbagai kegembiraan dan sukacita semu ialah mereka perlu bergembira dan bersukacita dalam melayani sebagaimana Kristus sendiri bergembira dan bersukacita. 

Apa yang ditandaskan oleh Paus, tentu bukanlah suatu kegembiraan psikologis semata, melainkan kegembiraan dihayati badan dilakukan sebagai daya dorong rohani sembari menghayati ajaran Kristus tentang bagaimana seharusnya manusia saling memperlakukan. 

Dalam ret-ret hari kedua, yang dibimbing oleh Rm. Rosindus Tae, Pr, para Diakon Keuskupan Atambua, yang sedang mempersiapkan diri untuk ditahbiskan menjadi imam, Mena, 21 November 2019, para Diakon diarahkan untuk memahami betul, tentang posisi seorang imam di tengah perkembangan dunia ini. 

Renungan yang disajikan oleh Rm. Rosindus, sungguh menggugah para Diakon, terutama karena apa yang dibeberkan oleh Rm. Rosindus sebagai pembimbing ret-ret sungguh menyentuh kenyataan zaman ini. 

Poin-poin yang dikemukakan ialah tentang mentalitas materialistik, konsumtif dan egoistik. 

Imamat yang suci itu, bukannya dilatriakan demi Kristus, malah dilatriakan pada hal dan perbuatan material serta konsumtif. Akhirnya imamat dan hidup sebagai imam, mudah hancur dan tercederai karena nafsu konsumsi duniawi lebih kuat daripada semangat untuk membaktikan diri dalam Kekuatan Sang Pemilik Imamat dan demi umat Allah. 

Saya sungguh terkesima terutama karena keheningan yang mendalam, akal budi dan kehendak mudah dihantarkan untuk menyadari posisi seorang imam dan tantangannya dalam keasliannya. 

Sungguh keheningan menumbuhkan keaslian untuk menemukan dalam perjumpaannya dengan kesadaran yang berkanjang dalam nurani Allah. 

Permenungan ini saya hasilkan dalam keheningan itu, dan semoga apa yang saya tulis ini bukanlah huruf-huruf mati. 

Hari-hari ret-ret ini merupakan hari di mana keberanian tumbuh untuk menemui keaslian dalam ranjang keheningan. 

Di dalam ranjang keheningan, tubuh dan jiwa terlentang tanpa kata untuk mendengarkan Allah siap berbicara. 

Apa yang dibicarakan Allah, seringkali tidak didengarkan karena kuping-kuping para insan lebih asyik bersindikat dengan keping-keping logam yang sarat niat jahat. 

Sungguh berat tetapi bukan tanpa solusi. Berat berarti beban melampaui tenaga dan kapasitas. Daya tampung insan sesungguhnya hanya dapat bergerak dan dikerahkan dalam keheningan bersama Allah untuk menentukan langkah-langkah yang tepat dalam perjumpaannya dengan tenaga-tenaga yang dirasakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun