Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Menggunakan secara Tepat Makna, Konteks Kata, dan Kalimat sebagai Bentuk Kejujuran Intelektual

25 Januari 2019   02:45 Diperbarui: 22 Februari 2019   04:28 1103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap penulis adalah perangkai kata dan makna. Di sini, aktivitas menulis erat kaitannya dengan berpikir. Boleh dikatakan, berpikir berarti merangkai makna. Kaitan antara berpikir dan menulis adalah dengan berpikir, seorang penulis merangkai makna dalam wujud katak-kalimat dan menghasilkan tulisan, dan dengan menulis, seorang penulis merangkai kata untuk menyampaikan makna.

Entah berpikir maupun menulis, terkandung dimensi personal dan komunal. Berpikir dan menulis, memang pertama-tama berguna bagi si pemikir dan si penulis itu sendiri.

Seorang pemikir dan penulis yang berguna, ia tidak memikirkan dan menuliskan dirinya sendiri. Ia selalu memikirkan dinamika yang terjadi dan terpanggil untuk menuliskannya. Dinamika yang dipikirkan, entah berupa ide maupun fakta adalah suatu kenyataan bahwa beraktivitas selalu berarti beraktivitas dengan yang lain dan beraktivitas tentang yang lain.

Pengalaman saya dalam membaca dan menulis, seringkali terdorong oleh semangat yang menggebu-gebu, rasanya tulisan lebih berwibawa kalau dipakai istilah-istilah yang keren. Bahkan ada semacam suatu kebanggaan, kalau istilah yang dipakai itu sulit dipahami oleh para pembaca.

Ada juga asumsi publik yang berlaku terhadap penggunaan istilah-istilah dalam berbicara maupun menulis sebagai patokan kualitas si pembicara dan si penulis. Asumsi seperti ini bisa saja benar tetapi tidak berarti tidak boleh dikritik, karena hemat saya, kebenaran yang bertahan adalah jebolan dari kritik-kritik yang kredibel dan bahkan menyakitkan.

Apapun istilah-istilah yang dipakai, pasti saja para penulis bisa merenungkannya sendiri. Sebab, seorang penulis yang rendah hati, termasuk di dalamnya, merenungkan tulisannya sendiri.

Salah satu kecenderungan adalah pemakaian istilah-istilah entah dalam berbicara maupun menulis tanpa memahami secara tepat makna dan konteks aslinya. Hemat saya, kecenderungan seperti ini merongrong kejujuran intelektual seorang pembicara maupun penulis.

Kecenderungan lain adalah kebenaran makna terperangkap dalam kuantitas pemakaian publik. Dalam arti, seorang pembicara ataupun seorang penulis mengikuti saja istilah-istilah yang biasa dipakai publik tanpa meneliti secara mendalam apa arti sebenarnya serta konteks kata atau kalimat.

Fenomena seperti ini, kalau kita ikuti dengan baik, akan kita temukan terutama dalam forum-forum diskusi dan media-media tulisan. Terutama dalam pemakaian istilah berupa pemikiran seseorang entah seorang ilmuwan, filsuf, sosiolog maupun lainnya, seringkali kita terperangkap untuk mengikuti kecenderungan publik tanpa menyelidiki terlebih dahulu apa maksud asli dari si pemikir atau ilmuwan dan mana konteks yang sebenarnya.

Hemat saya, di tengah dunia panggung bicara, dunia jurnalistik dilanda berbagai isu hoaks, setiap pembicara dan penulis mesti memahami juga bahwa memakai istilah tanpa memahami arti yang sebenarnya dan konteks aslinya, juga adalah sebuah hoaks.

Mengapa hoaks? Karena si pembicara maupun si penulis entah dengan sengaja ataupun karena tuntutan percepatan informasi, ia tergoda untuk tidak meneliti lebih dalam dan akhirnya mengikuti kehendaknya sendiri serentak mengorbankan sesuatu yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun