Mohon tunggu...
Yudel Neno
Yudel Neno Mohon Tunggu... Penulis - Penenun Huruf

Anggota Komunitas Penulis Kompasiana Kupang NTT (Kampung NTT)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Imam dan Politik Menurut Ajaran Gereja Katolik

11 November 2018   08:24 Diperbarui: 11 November 2018   08:42 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam kaitannya dengan politik di dalam hidup bernegara, Paus Yohanes Paulus II menandaskan bahwa kewarganegaraan dapat dilepas dari agama dan Gereja tetapi bukan dari moralitas.[11] Merupakan hak dan kewajiban Gereja untuk menyediakan suatu keputusan moral pada masalah-masalah duniawi ketika hal ini dituntut olen iman atau hukum moral.[12]

Dalam iman dan hukum moral, pelayanan terhadap keluhuran martabat manusia dan kemajuan manusiawi yang benar adalah wujud iman akan Sang Pencipta. Sebagai wujud iman pula, Gereja Katolik terpanggil untuk menolak apa yang berbahaya bagi kehidupan demokrasi yakni suatu konsep pluralisme yang merefleksikan relativisme moral, di mana tidak ada satu kebenaran yang pasti atau kebenaran sangat bergantung pada masing-masing lembaga atau perorangan.[13]

Panggilan sebagai orang kristiani untuk mengabdi pada kebenaran, sesungguhnya tidak mutlak mengacu pada persoalan perorangan atau kelembagaan. Berdasar pada  iman dan moral, seorang pejuang politik Katolik dituntut untuk bertindak menurut suara hati kristianinya sebagai tempat di mana Allah bersemayam.[14] Tuntutan suara hati kristiani ini hadir berupa cinta kasih yang mengabdi seluruhnya pada kebenaran serentak menegakkan keadilan demi menggapai perdamaian umat manusia dalam segala bidang kehidupan.

Cinta kasih yang mengabdi pada kebenaran membebaskan manusia dari godaan-godaan relativisme iman dan tindakan. Di sini, kasih dapat dikenali sebagai ungkapan autentik kemanusiaan dan satu unsur penting dan utama dalam membangun relasi kemanusiaan dengan mengabdi pada kebenaran. Hanya dalam kebenaran, kasih dapat memancarkan cahaya. Kasih tanpa kebenaran akan merosot masuk ke dalam perasaan sentimental. Kasih tanpa kebenaran akan menjadi ruang kosong, untuk dipenuhi dengan cara yang sewenang-wenang. Kasih akan menghadapi resiko berat dalam budaya tanpa kebenaran.[15]

Dalam arti ini, kita paham bahwa Gereja (para gembala Gereja) terlibat dalam bidang politik, hanya dalam kerangka digerakkan oleh kebenaran iman dan moral. Para gembala Gereja berhak dan bahkan wajib untuk terlibat dalam bidang politik kalau segala praktek politik dalam negara nyatanya telah mencoreng iman, merugikan martabat pribadi manusia dan kesejahteraan umum diporak-porandakan.

Walaupun demikian, Gereja sama sekali tidak identik dengan persekutuan politik. Gereja, yang karena tugas dan wewenangnya sama sekali tidak identik dengan persekutuan politik, adalah tanda sekaligus pembela hakikat transendensi manusia. Atas arti pembela hakikat transenden manusia, Gereja terpanggil untuk menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara dengan memandang persekutuan politik sebagai persekutuan yang dijiwai oleh iman dan moral demi mencapai kesejahteraan bersama. Kesejahteraan ini dalam terang iman akan karya eskatologis dilihat sebagai keselamatan universal bagi umat manusia.[16]

Sebagaimana ditandaskan bahwa pada bidang masing-masing, negara dan Gereja bersifat otonom tidak saling tergantung. Tetapi keduanya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelaksanaan itu akan semakin efektif dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan umum, apabila semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang sehat dengan mengindahkan situasi setempat dan sesama. Sebab manusia tidak terkungkung dalam tata duniawi melulu, melainkan sementara mengarungi sejarah manusiawi, ia sepenuhnya mengabdi kepada panggilannya untuk kehidupan kekal.

Gereja, yang bertumpu pada cinta kasih Sang Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bangsa-bangsa makin meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan dengan menyinari semua bidang manusiawi melalui ajaran-Nya dan melalui kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warganegara.[17]

Lebih lanjut lagi diuraikan bahwa demi terlaksananya tata-keselamatan hendaklah kaum beriman belajar membedakan dengan cermat antara hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka selaku anggota Gereja, dan hak-hak serta kewajiban-kewajiban mereka sebagai anggota masyarakat manusia. Hendaklah mereka berusaha memperpadukan keduanya secara selaras, dengan mengingat, bahwa dalam perkara duniawi mana pun mereka wajib menganut suara hati kristiani. Sebab tiada tindakan manusiawi satupun, juga dalam urusan-urusan duniawi, yang dapat dilepaskan dari kedaulatan Allah.[18]  

Gereja terlibat berpolitik dalam kerangka moral dan martabat manusia. Dalam perutusan Gereja khususnya para imam, mereka dapat menyampaikan penilaian moral, juga menyangkut hal-hal tata politik, bila itu dituntut oleh hak-hak asasi manusia atau oleh keselamatan jiwa-jiwa, dengan menggunakan semua dan hanya bantuan-bantuan, yang sesuai dengan Injil serta kesejahteraan semua orang, menanggapi zaman maupun situasi yang berbeda-beda. Dalam terang injil, Gereja menjatuhkan keputusan moral demi kesejahteraan bersama dalam bidang ekonomi dan sosial, bila itu dituntut oleh hak-hak asasi manusia dan keselamatan jiwa-jiwa. Dalam arti ini, Gereja perlu memanfaatkan dan bersikap atas hal-hal duniawi sejauh dibutuhkan oleh perutusannya. Tetapi Gereja tidak menaruh harapannya atas hak-hak istimewa yang ditawarkan oleh pemerintah, bahkan Gereja perlu melepaskan hak-hak yang sah oleh negara kalau Gereja memandang bahwa syarat-syarat dalam hak itu merugikan atau melanggar moralitas matabat manusia dan bertentangan dengan keselamatan universal umat manusia.[19]

Bukan tugas gembala Gereja untuk berpolitik praktis. Gereja dalam arti yang khusus dimengerti sebagai urusan gembala-gembala Gereja. Walaupun demikian, bukanlah urusan gembala-gembala Gereja supaya secara langsung campur tangan di dalam struktur politik dan di dalam organisasi kehidupan sosial misalnya partai politik.[20]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun