Mohon tunggu...
Arinta Cintya Dewi
Arinta Cintya Dewi Mohon Tunggu... -

Kritis dalam membangun negeri dengan membudayakan cinta tanah air

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Lagi-lagi Polisi Mengkriminalisasi Seorang Bocah Usia 11 Tahun

1 Juni 2011   18:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:58 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_113602" align="alignright" width="320" caption="illustrasi"][/caption] Probolinggo (1/6/2011), Malang benar nasib Irwan (40) seorang kuli bangunan yang tinggal di rumah kontrakan tepatnya desa Kanigaran yang harus merelakan anaknya yang tergolong dibawah umur bernama Irfan (11) harus berurusan dengan pihak kepolisian Polresta Probolinggo dalam kasus dugaan pencabulan yang tak pernah dilakukannya terhadap Mumun (Bukan nama sebenarnya) yang berusia 28 tahun dan sedang mengidap sakit jiwa sejak kelas 2 SMP.

Kejadian tersebut terjadi pada tanggal 19 Mei 2011 dibelakang rumah Suprianto RT desa Kanigaran. Istri pak RT yang sedang melihat kejadian tersebut langsung segera menegor Irfan yang katanya sedang menindih seorang perempuan.

Tapi tuduhan tersebut langsung disanggah oleh Irwan ayah dari Irfan. Karena menurutnya tidak mungkin anaknya yang masih berusia 11 tahun melakukan perbuatan cabul mengingat bahasa seksual saja dia tidak mengerti bahkan menyebut kata-kata kotor saja dia tidak berani. "Bagaimana mungkin anak saya memiliki nafsu seksual sunat saja belum" Ujarnya.

Setelah sembilan hari berlalu pasca kejadian, tiba-tiba keluarga Irwan didatangi oleh 4 orang berpakaian preman yang mengaku dari kepolisian Polresta Probolinggo untuk membawa anaknya ke kantor polisi. Tidak ingin tertipu Irwanpun menanyakan surat panggilan anaknya kepada 4 orang tersebut yang mengaku petugas. Bukannya surat panggilan yang ditunjukan oleh petugas malah bentakan demi bentakan serta ancaman keras dan tidak sopan yang ditujukan kepada Irwan kalau tidak segera menyerahkan anaknya maka dia juga akan diseret ke dalam penjara, setelah itu keempat petugas tersebut pergi meninggalkan Irwan begitu saja karena anak yang dicarinya sedang tidak berada ditempat.

Melihat perlakuan para petugas yang kasar dan tidak sopan kepadanya lantas dia kebingungan dan mengadukannya kepada Ketua Aktivis LSM Prolinx Suharmadi. Suharmadi terus mendampingi dan turut memantau jalannya proses keluarga Irwan di Polresta Probolingo.

Sabtu 28 Mei 2011, Suharmadi mendatangi Polresta Probolinggo namun disuruh datang lagi oleh pihak kepolisian pada hari senin. Ketika Senin akan menuju ke Polresta, Kanit Reskrim Aiptu Marsiah menghubungi salah satu pihak keluarga Irwan bahwa harinya diundur lagi pada hari berikutnya yaitu selasa.

Pihak Irwan merasa aneh, karena proses pemanggilannya tidak disertai surat panggilan resmi sebagai mana mestinya. Ketika hari berikutnya kembali mendatangi Polresta Probolinggo pihak keluarga tidak diperbolehkan mendampingi Irfan saat di interogasi di ruang PPA.

Merasa khawatir anaknya akan di kriminalisasi oleh pihak kepolisian seperti yang sering terjadi pada kasus orang-orang buta hukum lainnya setelah 2 jam menunggu akhirnya pihak keluarga memutuskan untuk tetap masuk mendampingi Irfan, tapi alangkah kagetnya ketika membaca hasil akhir Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sang anak. Ternyata yang dikhawatirkannya benar-benar terjadi, beberapa kalimat yang menurutnya sangat menjebak anaknya dia baca berulang-ulang sambil sedikit lemas badannya. Pihak keluarga menyatakan keberatannya kepada penyidik tapi tetap saja tidak merubah hasil BAP yang sudah diprint out.

Merasa sia-sia Irwanpun pasrah dengan keadaan yang akan di terima oleh anaknya serta status yang akan disandangnya kelak.

Meski sementara ini statusnya masih saksi tapi tidak menutup kemungkinan akan naik menjadi tersangka mengingat beberapa point BAP yang dibacanya sudah bisa dipastikan dapat menyeret anaknya kedalam kasus kriminal pencabulan yang mustahil dilakukan oleh anak dibawah umur.

Saat ditanyakan oleh Irwan tentang kebenarannya kepada sang anak, Irfanpun menjawab tidak melakukannya karena pada waktu itu dia hanya ingin mengajak sikorban untuk duduk dan bercanda layaknya anak lain. Memang pada waktu itu sikorban mendudukinya dan tidak sedang ditindih seperti yang diceritakan oleh bu RT yang mengaku melihatnya menindih si korban.

Irfan juga mengutarakan bahwa waktu itu dia juga tidak melepaskan celana dalam sikorban karena memang tidak ada niat mencabulinya apalagi sampai memasukkan alat vitalnya karena dia sendiri juga sedang tidak melepas celananya.

Tentang prilaku korban yang tidak waras memang sering dijumpai oleh beberapa warga seringkali pergi ke kakus pinggir sungai belakang rumah pak RT tidak menggunakan celana dalam dan suka mengangkat roknya setinggi mulut sambil berjalan sehingga (maaf) alat vitalnya sering terlihat.

Dari jedah waktu antara Irfan saat mengajak korban duduk bersama yang kurang lebih tidak sampai setengah menit sebelum akhirnya di tegur oleh bu RT sangat aneh untuk melogikanya dalam waktu secepat itu seorang anak kecil dibawah umur melakukan hubungan seksual layaknya orang dewasa apalagi sampai mengeluarkan suara terengah-engah seperti yang di ceritakan oleh bu RT kepada Radar Bromo (21 Mei 2011). Suharmadi menilai apa yang diceritakan oleh bu RT itu terlalu berlebihan bila kita melihatnya dengan akal sehat.

Kemudian ketika Suharmadi Ketua LSM Prolinx mencoba mengusutnya dari awal dia mendapatkan keanehan lain yaitu kenapa pihak korban mampu mengatakan kepada media lokal setempat bahwa hasil visumnya sudah keluar dari RSUD Dr. Saleh yang menyatakan kemaluannya mengalami robek padahal ketika di kroscekkan ternyata visum masih belum keluar hingga tulisan ini di turunkan hasil visum masih berada di RSUD belum diserahkan kepada pihak kepolisian.

Selain itu ketika Suharmadi menanyakan kepada pihak kepolisian perihal tidak digunakannya surat panggilan melainkan langsung menjemput paksa meski tidak berhasil membawa Irfan ke kantor polisi, pihak kepolisian menyampaikan bahwa itu adalah perintah lesan dari Wakasat Reskrim yang katanya sering mendapat telphone dihandphonenya dari seseorang yang mengatasnamakan warga menyuruh melakukan penangkapan terhadap Irfan dan memintanya pindah dari desa kanigaran beserta keluarganya.

Hal yang aneh bagi Suharmadi mengingat pengaduan selayaknya harus melalui SPK bukan lewat handphone apalagi menurutnya nomer handphone seseorang yang memiliki kedudukan penting di Polresta Probolinggo tidak mungkin disebar begitu saja kalau bukan kepada orang yang memiliki hubungan khusus terhadap Wakasat Reskrim itu sendiri.

“Saya curiga jangan-jangan ada kongkalikong antara pihak pak RT dengan Wakasat Reskrim” Ujarnya

Melihat banyaknya kejanggalan-kejanggalan dalam kasus ini dia menyimpulkan bahwa kasus ini kemungkinan sudah dikondisikan oleh pihak RT bekerjasama dengan orang dalam kepolisian mengingat sudah lama pak RT berupaya mengusir keluarga Irfan dari tempat tinggalnya namun tidak pernah berhasil karena sikapnya yang vocal.

Suharmadi berusaha mengumpulkan keterangan dengan menghimpun berbagai masukkan yang diambil dari warga setempat dan mayoritas hasilnya tidak ada yang merasa dirugikan dengan keberadaannya keluarga Irwan apalagi sampai ada niat mengusirnya dari Kanigaran. Namun ada temuan yang cukup mengejutkan dari beberapa warga yang merasa dirugikan oleh kebijakannya Suprianto selaku ketua RT setempat bahwa beberapa tahun yang lalu saat pembagian beras dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) ada beberapa warga yang benar-benar ekonominya minus tidak mendapatkan bantuan tapi sebaliknya malah keluarga Suprianto dan kerabat-kerabatnya sendiri yang tergolong masih mampu justru mendapatkan dulu. Meski pendataan diulang sampai dua kali namun hasilnya masih tetap saja sama, warga yang seharusnya berhak mendapatkan BLT tetap saja tidak dapat.

Saat ditanyakan kenapa, dia selalu berkilah bahwa dari kelurahan sistim distribusinya harus menggunakan tahun-tahun lama dimana pada waktu itu warga desa Kanigaran masih belum sebanyak sekarang ini. Sedangkan yang namanya pembagian BLT itu sendiri seharusnya tetap mempergunakan data kependudukan baru dengan jumlah penduduk saat itu.

Yang cukup mencengangkan, sudah 8 tahun Suprianto menjabat RT tanpa ada yang bisa menggantikannya padahal seorang RT ideal menjabat selama 2 tahun. Hal itu karena saat pemilihan RT desa Kanigaran yang mayoritas dihuni oleh keluarga serta kerabat-kerabatnya lebih cenderung menguasai “kotak suara” untuk memilihnya terus. “Gitu kok katanya demokrasi” cletuk Suharmadi kepada penulis.

Dia berharap dalam kasus ini pihak kepolisian tidak seharusnya mengkriminalisasi anak di bawah umur yang secara psikologi jauh dari peran nafsu. Apalagi saat ini si anak sedang mengalami tekanan mental akibat pemberitaan yang menyangkut dirinya dan malu kembali kesekolah. Dari kesalahan awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian apalagi sudah berbagai prosedur yang tidak dijalankan sebagai mana mestinya sudah dipastikan akan membawa citra kepolisian kembali hancur. Suharmadi juga menghimbau kepada pihak kepolisian agar menghentikan pemeriksaan terhadap Irfan dengan alasan kemanusiaan.

“Kalau memang hanya memintai keterangan tolong pertimbangkan asaz praduga tak bersalah, karena tidak semua orang yang dituduh itu benar-benar melakukan dan bisa saja itu adalah fitnah” Selorohnya kembali.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun