Manusia kelelawar memburu landscape kelap-kelip malam kota metropolitan Jakarta.
Saya tidak tahu istilah manusia kelelawar ini pertama kali diciptakan oleh siapa? Manusia kelelawar disematkan bagi mereka yang susah tidur malam. Susah tidur di malam hari bukan mengindikasikan penyakit psikologis yang bertebaran di ruang-ruang akademik.
Bejibun riset, teori dan asumsi mulai bertebaran seputar istirahat yang cukup adalah jalan menuju tubuh fit di esok harinya. Apa yang dikatakan oleh orang lain itu belum tentu ada kebenarannya.
Alasan saya katakan demikian adalah setiap orang sudah mengetahui kapasitas dirinya. Dengan mengetahui kelemahan dan kelebihan diri, setiap orang bisa bebas beraktivitas di dalam kondisi apapun.
Sebagai pendekatan kontekstual adalah saya sendiri. Dalam sehari, waktu istirahat saya cuman 4-5 jam. Selebihnya saya gunakan untuk menyalurkan hobi. Selain itu, saya bisa membaca buku, berita dan informasi apapun di media online.
Bekerja di malam hari adalah waktu yang tepat bagi saya. Karena suasananya tenang, kebisingan pun berkurang dan bejibun ide bermunculan. Sayang bila saya memilih untuk istirahat, esok harinya saya akan memungut rasa penyesalan. Gegara ide yang semalam muncul sepintas di dalam benak pikiran tak dieksekusi dalam untaian kata.
Lensa malam dalam landscape potreranku memberikan kenikmatan. Di balik cita rasa kenikmatan ada manis-manisnya loh. Kayak iklan minuman saja. Sekadar intermezzo sobat.
Manusia kelelawar memilih untuk menghabiskan malam hari dalam berkreasi. Karena esok paginya ada pekerjaan lain yang lebih menantang. Salah satu tantangan terbesar bekerja di siang hari adalah kebisingan. Entah bising kendaraan roda dua dan empat juga bising manusia yang tidak pernah masuk dan tinggal bersama dirinya.
Menghabiskan malam penantian dalam merangkai kata adalah kepuasan batin tersendiri dalam hidupku. Saking susah tidur pada malam hari, keluarga menjuluki saya dengan sebutan penyakit malam.
