Mohon tunggu...
Frederikus Suni
Frederikus Suni Mohon Tunggu... Mahasiswa - Driver LalaMove | Content Creator | Tafenpah Group

Membaca, Berproses, Menulis, dan Berbagi || Portal Pribadi: www.tafenpah.com www.pahtimor.com www.hitztafenpah.com www.sporttafenpah.com ||| Instagram: @suni_fredy || Youtube : Tafenpah Group

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Steven Bertanya, Aku Menjawab

16 Maret 2021   17:37 Diperbarui: 16 Maret 2021   18:28 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Steven dan Gilberth Lake. Foto oleh Egi Lake

Langit sore kota Metropolitan sangat berawan. Angin menghempaskan kerinduan diantara langit-langit bangunan pencakar kota Jakarta.


Aku duduk, sembari mengibas keringat yang bercucuran di sekucur tubuh. Steven Lake menghampiri aku, dan melontarkan satu pertanyaan yang menukik. Ya, pertanyaan seorang bocah yang sama sekali tak terbayangkan.


"Om, kapan  kita ke Gereja lagi?" Aku pun terkejut, bak disambar petir.
"Hmmmm, masih lama dek!"
"Kenapa Om?"
"Karena kita masih dikejar oleh penyakit 'he tayo. He Tayo adalah penyakit yang memiliki duri dan bentuknya seperti ulat kecil. Sembari, aku menunjukkan seorang ulat kecil. Ya, sebenarnya aku mau bilang penyakit Corona, tapi anak bocah tak mengerti apa itu virus Corona? Makanya, aku menggunakan perumpamaan dari permainan yang mereka senangi.


Rupanya dari penjelasan aku yang sederhana itu, Steven tak melontarkan pertanyaan selanjutnya.


Aku pun kembali mengamati jalan pikiranku. Tak, lama kemudian, datanglah Steven dan adiknya yang bernama Gibran. Dua bocah yang lucu dan menginspirasi ini, menemai aku dalam penantian panjang di kota Jakarta.


"Om kenapa kita takut dengan penyakit 'He Tayo?" Aih makin runyam nih bocah. Aku pikir ia tak melanjutkan rasa penasarannya. Eh, malah ia datang dan melanjutkan pertanyaan demi pertanyaan yang membawa aku pada diskusi yang sangat mengasikkan.


Diskusi bukan hanya terjadi pada orang dewasa dan mereka yang menghabiskan belasan tahun di dalam ruang laboratorium, dan ruang-ruang kuliah untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan. Tapi, antara aku dan Steven, si bocah kelahiran Jakarta ini, layaknya seorang filsuf yang ingin menuntaskan rasa penasarannya akan setiap hal yang mengganjal pikirannya.


"Om, He Tayo itu ciptaan Tuhan ya?" Tanya Steven
"He Tayo bukan ciptaan Tuhan!" Jawabku.
"Lalu, He Tayo itu asalnya dari mana Om?"
"He Tayo itu diciptakan atau dibuat seperti mama kamu masak bubur untuk adik Gibran."
"Horeeeee, berarti "He Tayo" itu tiap hari dimakan sama Gibran Om."


Dalam hati rasanya ingin aku menyerah dan mengalihkan pembicaraan ke jenis permainan mobil balap. Tapi, nanti muncul pertanyaan baru lagi.


"Lalu, aku berusaha untuk menyakinkan Steven bahwa, "He Tayo" itu enggak dimakan sama adik Gibran." Karena itu penyakit yang membuat kita tak bisa ke Gereja.

Ponakan Steven dan Gilberth Lake. Foto oleh Egi Lake
Ponakan Steven dan Gilberth Lake. Foto oleh Egi Lake


Setelah melalui perbincangan yang sangat menguras emosi bersama Steven, aku masih menyusun rencana B, tatkala Steven kembali untuk bertanya. Tapi, syukurlah, Steven dan Gibran tak melanjutkan pertanyaan yang sangat menguras emosi itu. Karena mereka terlihat asyik menikmati permaianan balapan yang ditayang melalui film kartun animasi di Televisi.


Lalu, kira-kira apa yang dipetik oleh pembaca dari cerita singkat ini?


Manfaat yang dipelajari oleh pembaca adalah seorang bocah memiliki tingkat penasaran yang sangat tinggi akan benda dan situasi yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Mereka selalu bertanya dan terus bertanya. Terkadang, kita merasa tak berdaya dengan rasa penasaran seorang bocah. Tapi, setidaknya melalui penjelasan yang sederhana seputar hobi dan kesukaan mereka, bisa memberikan kepuasan sementara bagi mereka.


Membatasi rasa penasaran seorang anak kecil adalah hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang dewasa. Karena itu menghambat daya imajinasi dan pengetahuan mereka.


Terakhir, seorang anak kecil juga merindukan untuk pergi ke Gereja. Apalagi kita orang dewasa yang sudah setahun lebih tak pergi ke Gereja. Karena Virus Pandemi masih berkeliaran. Alasan kita umat tidak pergi ke Gereja adalah menghindari kerumunan dan tetap menjaga protokol kesehatan.


Semoga Pandemi segera berlalu, dan kita pun bisa kembali beraktivitas dengan keluarga tercinta di manapun. Termasuk di dalam rumah ibadah kita masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun