Mencintai walaupun tidak memiliki. Berbanding terbalik dengan kisah asmara AHY dan Moeldoko di dalam kubu Partai Demokrat. Mereka ingin memiliki tapi tidak mencintai.
Polemik antara AHY dan Moeldoko sama persis seperti pada abad 16 di negeri Prancis. Di mana dua tokoh Sastrawan dan sekaligus filsuf besar yakni Albert Camus dan Sartre yang sempat menguncang panggung negeri Perancis.
Negeri Prancis saat itu dilanda oleh salah satu penyakit yang menular, yakni Sampar. Sebaliknya di negara kita dua tokoh besar dalam satu Partai Politik yakni AHY dan Moeldoko juga sempat menguncang ruang publik negara kita. Dan yang menarik adalah saat ini kita berhadapan dengan penyakit Virus Corona.
Antara Albert Camus, Sartre dan AHY dan Moeldoko memiliki kesamaan dalam konteks zaman. Di mana mereka memperebutkan panggung pada saat kondisi bangsa berjuang untuk menghadapi Virus Corona.
Politik memang dipenuhi dengan taktik dan intrik dari penguasanya. AHY dan Moeldoko sama-sama masih muda dan berjuang untuk membuktikan siapa yang layak menakhodai masa depan Partai Demokrat.
Beberapa hari yang lalu Moeldoko sempat menggetarkan kubu Partai Demokrat dengan KLB yang digagas olehnya. Sementara di depan Media Massa, AHY tampil untuk menyakinkan masyarakat, bahwasannya apa yang diprakarsai oleh Moeldoko adalah tidak benar.
Sebaliknya Moeldoko tak mengakui AHY. Kisruh politik semacam ini memang kerap terjadi di dalam pihak internal Partai Politik lainnya.
Dalam pernyataan AHY di salah satu stasiun Televisi Swasta, ia mengatakan bahwa dirinya dan Moeldoko sama-sama ingin memiliki Partai Demokrat, tapi tidak mencintainya. Sembari terdengar riuhan tepuk tangan dari anggota kongres lainnya.
Polemik untuk mencari siapa pemimpin umum Partai Demokrat memang menarik dan menyita mata rakyat negeri ini untuk sekadar melupakan masalah krisis kemanusiaan yang terjadi saat ini.
Pendapat saya, antara AHY dan Moeldoko bukan krisis materi, tapi mereka krisis eksistensi. Mereka mencari siapa yang layak dan menjadi terbaik dari Partai Demokrat.