Seringkali kita dengar sebuah pepatah yang mengatakan “setiap perjumpaan tentu ada perpisahan”. Penyataan ini sudah menjadi bahan yang sering digunakan bagi semua orang, baik di kalangan anak-anak, remaja maupun orang dewasa.
Hal ini sering terjadi di saat momen-momen dimana seseorang atau sekelompok orang mengalami perpisahan dengan sesama atau pihak-pihak tertentu. Sesuai realitas yang terjadi sekarang ini, momen-momen ini sering terjadi pada kalangan remaja, terkhusus anak-anak SMP, SMA, bahkan para mahasiswa.
Dengan realitas ini, setiap orang yang mengalaminya sungguh membawa dirinya pada suatu pemahaman yang salah. Mengapa demikian? Setiap mereka yang mengalami suatu perjumpaan, selalu merasakan bahwa akan berakhir dengan suatu peristiwa yang menyakitkan, yakni dengan adanya perpisahan.
Berangkat dari pemahaman seperti ini, kita sebagai manusia dengan sendirinya merusak bahkan mengkhianati apa yang telah kita lalui, yakni perjumpaan itu sendiri.
Suatu realitas yang bisa kita lihat adalah persoalan yang sering muncul di kalangan para siswa-siswi bahkan mahasiswa.
Bahkan persoalan itu menjadi trending di media sosial, yang dimana para siswa-siswi dan mahasiswa saling melindungi diri dari persoalan tersebut dengan cara bercumbu dalam perasaan rindu.
Dari persoalan itu, acap kali kita menganggapnya sepele. Tetapi kita tidak pernah sadar bahwa dengan cara seperti itu setiap pribadi yang mengalaminya sudah mulai untuk membawa dirinya pada suasana yang mengerikan. Artinya kepribadiannya dibiarkan untuk dikuasai oleh perasaan belaka.
Perasaan yang dimaksud adalah emosi. Perasaan emosi itulah yang menjadi factor munculnya perselisihan pendapat. Suatu peristiwa yang terjadi di media sosial pada minggu lalu 29 Agustus 2021, seorang mahasiswa mengeposkan fotonya yang sedang duduk di ujung dermaga, dengan caption “untuk apa bertahan hidup, bila hanya sendirian??? Dia yang saya percaya saja sudah pergi jauh”.
Perasaan emosi yang dimiliki pelaku adalah gambaran bahwa betapa sakitnya peristiwa perpisahan yang dia rasakan saat itu. Dalam sebuah buku yang berjudul “MAAF Antara Ikhtisar dan Ikhtiar” yang ditulis oleh (Fredi Sebho) mengatakan bahwa, “emosi bisa berpengaruh pada perilaku, tergantung emosional yang diterima”.
Dari persoalan yang terjadi, kita tau bahwa sikap atau keputusan yang dimilikinya itu sungguh merusak seluruh kepribadiannya. Hal itu terjadi, karena ia sungguh tidak mampu memahami arti dari suatu “perjumpaan” yang sesungguhnya, yakni dengan mengolah atau mengendalikan diri dari emosi tersebut.
Mengendalikan emosi berarti mencoba mengolah batin agar semakin mampu menerima peristiwa yang menyakitkan itu, dan mampu melihat nilai yang bermakna dari peristiwa tersebut.