Mohon tunggu...
Fransisko Rondidan
Fransisko Rondidan Mohon Tunggu... Lainnya - perajut kata

mahasiswa STFT Widya Sasana, Malang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Bawang

25 Februari 2021   21:46 Diperbarui: 25 Februari 2021   21:59 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kemarian aku jadi anak bawang, hari ini juga, esok kuyakin, aku 'kan jadi anak bawang lagi. Hidup ini memang tidak adil, mengapa si parjo lebih beruntung. Apalagi si Dirman. Ia selalu jadi yang utama, padahal aku lebih hebat darinya. Apa mungkin Tuhan tidak peduli atau mungkin, Ia lupa. Kalau Ia lupa untuk apa aku diciptakan. Dulu saat SD, aku selalu jadi anak bawang, SMP pun begitu apalagi saat SMA. Barangkali aku terlalu bodoh, lemahatau mungkin Tuhan mempermainkanku agar kutahu Ia bukan tipe orang yang selalu serius seperti cerita para guru agama saat di SD dulu.

Di bawah terang bulan musim kemerau, sutejo mengadu dan protes kepada Tuhan. Angin basah yang mendesir liar tak dihiraukannya. Pun nyamuk-nyamuk yang bermigrasi dari hutan kecil di belakang rumahnya menyeduh darahnya begitu nikmat tiada diusirnya. Ia membeku, tepatnya mematung seperti batang kayu yang diam dan pasrah dibawa air sungai menuju lautan. Lama ia berdiri mengadu, akhirnya ia pasrah dengan sifatnya sebagai manusia yang tidak bisa bertahan dari rasa kantuk. Ia kembali ke rumah dengan kehampaan dan pikiran kosong. Pulang tanpa jawaban. Mungkin juga, jawaban memilih menjauh dari pertanyaannya.

Setibanya di rumah, sutejo langsung menuju kamar tidur. Namun, ranjang seakan tak bersahabat dengannya. Malahan ia kembali gelisah dengan pertanyaan-pertanyaannya. Ia muak, benci, marah. Dengan penuh emosi sutejo bangun dari ranjang dan berjalan menuju dapur. Dicarinya keranjang bumbu dan dikumpulkanya bawang, merah maupun putih. Dipisahkannya yang kecil dan besar. Di genggamnya pisau, erat. Ditatapnya kumpulan bawang yang lebih besar. "Mampus kalian" pisau di tangannya menari cepat mengiris bawang-bawang itu. Matanya tajam-menusuk. 

Dan, yang dilihatnya bukan lagi bawang tetapi Parjo, Dirman, para gurunya yang menjerit-jerit kesakitan. Tetapi tak dihiraukannya malahan semakin cepat diayunkannya pisau. Rasa perih pun mulai menjalar di kedua bola matanya namun tak dihiraukannya karena yang terpenting baginya rasa muak terlampiaskan. Namun belum semuanya. Ditatapnya bawang-bawang yang berukuran kecil. Matanya kembali berair. Ia membayang dirinya yang dipanggil anak bawang oleh teman-temannya, gurunya dan kerabatnya. Pelahan, Sutejo menutup mata. Tangannya kaku memegang pisau. "kuakhiri derita ini" ucapnya lirih. Diirisnya kumpulan bawang itu sama dengan irisan yang pertama. Tak ada lagi yang besar atau kecil, semunya sama. Ditatapnya lagi irisan itu, senyum kepuasan tersungging di bibirnya yang masih gemetar. Akhirnya malam itu Sutejo bisa tidur.

Dalam mimpinya, seorang Lelaki Tua menghampirinya. Ia memikul bawang di bahunya, besar dan kecil. Mereka tidak berbicara, hanya saling menatap. Dan, pria tua itu mendekat dan berbisik ke Sutejo. Udara panas nafas bercampur dengan aroma bawang menyengat mimpinya, seketika sutejo terbangun dan dilihatnya sekeliling namun tidak ada orang. Dan ia sadar itu hanya mimpi. Sutejo berdiri dan bergegas menuju dapur untuk menyiapkan sarapan pagi. Ia begitu terkejut melihat bawang sudah teriris di atas meja. Secepat kilat ia mencari ke setiap ruangan barangkali ada penyusup di rumahnya. Namun ia tak menemukankan siapapun. 

Pintu dan jendela pun masih tertutup rapat. Pelahan, angin yang dari belakang rumahnya berhembus sepoi dan aroma bawang menyengat seisi ruangan. Sutejo pun mulai merasakan perih di matanya. Di carinya air 'tuk membasuh matanya namun sia-sia. Aroma bawang dan rasa perih menjalar ke seluruh tubuhnya, pelahan. Sutejo semakin tersiksa. Dengan tenaga yang tersisa Sutejo berlari ke depan cermin.. Kulitnya pelahan berubah menjadi bawang dan sesuatu-seperti pucuk-mulai tumbuh di atas kepalanya. Dengan sisa tenaga, Sutejo berteriak semampunya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun