Mohon tunggu...
Fransiska Isti
Fransiska Isti Mohon Tunggu... Guru - Tulisan adalah jejak kaki yang kita tinggalkan.

youtube.com/@fransisca_otey

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

April

5 April 2021   21:51 Diperbarui: 5 April 2021   21:57 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: @fransisca.otey

Jakarta, kau menjadi ruang rindu kami yang kedua setelah Kota Yogyakarta. Kota metropolitan yang begitu gagah kami jelajahi setelah kota pelajar yang sesak dengan kenangan. 

Setiap melihat gemerlapnya lampu ibu kota saat malam, serasa semua rasa yang pernah ada bertemu lagi. Jakarta, bagaimana aku bisa melupa? Kudengar namamu saja bisa menangis semalam.

Betapa sedihnya aku ini setiap kata Jakarta lewat samping telingaku. Telingaku memang menerima kehadirannya, tetapi tidak untuk pikiranku. Seakan-akan ada aliran khusus dari pikiran menuju hati. 

Ya, hati yang terluka di kota yang tak pernah tidur. Kota seribu bayangan. Ya, bayangan mantan. Bagaimana aku bisa lupa kalau tiap 'jalan' sama temanku pasti melewati semua jalan yang sudah pernah dilewati bersamanya.

Achhhhh!!! Aku rasanya capai bertemu bayang-bayang, diikuti bayangan sampai ke mimpi dalam tidurku. Aku selalu arogan dengan diriku sendiri bahwa aku bisa move on kok. 

Nyatanya, sampai hari ini aku begini. Merindu dengan ketidakpastian yang telah tega menyakiti hatiku satu-satunya. Di sini, di kota ini, aku coba tenggelamkan kenanganku sendiri di antara gedung-gedung pencakar langit yang terlihat dari kamar apartemenku.

"Sudahlah, Mami. Berapa kali gua bilang sama lo. Ikhlasin aja."

"Indri, dan dulu lo berapa kali bilang gua harus percaya sama dia? Nyatanya apa? Gua disakiti sama rasa percaya gua sendiri."

"Iya Mi, iya kan nggak ada kelirunya nasihatin yang baik biar lo waktu itu tenang nggak berpikir negatif. Gua kan juga sedih kalau lo sedih Monica."

"Tapi semua sudah berlalu."

"Nah, sekarang lo fokus tarik selimut aja. Ini uda pukul berapa ei? Mata gua udah nggak sanggup nih. Gua mau tidur. Lo buruan tidur juga deh daripada besok mata lo kaya habis digebukin. Merah, bengkak gara nangis semalaman gak ada untungnya dari air mata kesedihan lo itu. Aku kelarin ya teleponan ini. Huh, punya sahabat kok gini-gini amat yak, suka ganggu hidup orang."

"Sorry, sorry, lo tidur aja deh, nanti gua susul. Thanks ya, Ndri. Bye."

Tut...tut...tut...telepon terputus begitu saja tanpa balasan Indri.

Indri yang tak pernah bosan memanggilku mami, di mana pun dan kapan pun; selalu bisa membuatku tak pernah merasa sendiri meskipun aku tinggal seorang diri tanpa Elang lagi. Elang, laki-laki yang aku kira nggak akan pernah tega memberi luka. Ternyata, malah setega ini.

Malam ini, mataku kupaksa tidur, tetapi pikiranku berkeliaran menjelajah hati yang terluka. Kenapa bulan April yang menyaksikan kesedihanku, bulan aku lahir di bumi untuk dipertemukan dengan seseorang yang ternyata tak berkomitmen. 

Aku pahami pertemuan dan perpisahan itu tak mungkin tanpa sebab. Dia Sang Penguasa telah mengaturnya. Aku ingin segera bertemu Mei, berangan aku lahir kembali dan dipertemukan dengan seseorang yang paham masalah hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun