Mohon tunggu...
Fransisca Kristina Elisabet
Fransisca Kristina Elisabet Mohon Tunggu... Dokter - MD | Research Assistant at Infectious Disease Research Center (TB-HIV) Padjadjaran University

2 years of experience as General Practitioner, interested in Neurology and medical research, currently being involved in Indonesia Brain Infection Study Cohort.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Infeksi Tuberkulosis (TB) Bisa Menyerang Selaput Otak | Waspadai Gejalanya Sejak Dini

16 Maret 2021   23:35 Diperbarui: 18 Maret 2021   23:13 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tuberkulosis (TB) saat ini masih merupakan masalah kesehatan global yang tidak dapat dielakkan. Pada tahun 2019, diperkirakan sebanyak +/- 12 juta penduduk di dunia menderita tuberkulosis dan 1,4 juta diantaranya meninggal akibat penyakit tersebut. Mayoritas kasus tuberkulosis ditemukan di Asia Tenggara (29%) dan Benua Afrika (27%). Diperkirakan sebanyak 1,1 juta berasosiasi dengan koinfeksi HIV dan 75% kasus ditemukan di Benua Afrika. Indonesia sendiri masih menjadi salah satu dari lima (5) negara dengan insiden tuberkulosis tertinggi, yaitu sebesar 0,4-0,5 juta kasus [1]. Diperkirakan sebanyak 2 juta penduduk mengalami infeksi tuberkulosis yang laten, sehingga berperan sebagai reservoir Mycobacterium tuberculosis. Insiden tuberkulosis ekstrapulmoner berhubungan erat dengan prevalensi infeksi tuberkulosis [2]. Tuberkulosis di sistem saraf pusat ditemukan pada 10% dari seluruh kasus tuberkulosis [3]. Meningitis tuberkulosis (MTV) merupakan bentuk tuberkulosis di sistem saraf pusat yang paling sering ditemukan. Diagnosis meningitis tuberkulosis saat ini masih menjadi masalah utama. Hal ini disebabkan karena perjalanan penyakit dan gejala klinis meningitis tuberkulosis yang sangat bervariasi. Pemeriksaan penunjang untuk membantu penegakan diagnosis tuberkulosis seperti pemeriksaan dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan kultur bakteri penyebab dari cairan serebrospinal seringkali memberikan hasil yang kurang memuaskan [4]. Tes diagnostik yang cepat, sensitif, dan murah sampai saat ini juga masih belum tersedia [5]. Karena gejalanya tidak signifikan, kebanyakan pasien tidak terdeteksi sejak awal. TB jenis ini bisa menjadi mematikan karena tidak segeran mendapatkan pengobatan dengan benar. 

Siapa saja yang bisa terkena meningitis TB? 

Penyakit meningitis TB dapat menyerang siapa saja, baik orang dewasa maupun anak-anak. Orang-orang yang mempunyai risiko tinggi menderita meningitis TB diantaranya anak-anak yang menderita TB paru primer, orang dengan kekebalan tubuh yang menurun akibat usia tua, kurang gizi, dan HIV (Human Immmunodeficiency Virus), orang dengan penyakit kronis/menahun seperti diabetes mellitus/DM (penyakit kencing manis), kanker, dan lain sebagainya, orang yang tinggal di perumahan yang tidak memenuhi syarat kesehatan minimal dan kebersihan yang buruk.  

Bagaimana meningitis TB dapat terjadi?

Meningitis TB dapat terjadi melalui mekanisme berikut:

  • Bakteri tuberkulosis masuk ke tubuh melalui droplet seorang yang terinfeksi bakteri TB. Droplet ini keluar bersamaan dengan batuk/bersin yang kemudian terhisap oleh seseorang.
  • Bakteri mengalami regenerasi dan memperbanyak diri dalam paru-paru, menembus pembuluh darah, dan akan melalui sirkulasi pembuluh darah menyebar ke berbagai organ tubuh salah satunya adalah otak.
  • Bakteri yang menembus lapisan otak (meningen) dan jaringan otak akan membentuk tuberkel-tuberkel yang makin lama makin berkembang.
  • Apabila daya tahan tubuh orang tersebut baik, maka bakteri akan dormain/tidak aktif. Jika suatu saat daya tahan tubuh orang tersebut menurun, maka tuberkel ini dapat pecah dan menyebabkan meningitis TB. Pecahnya tuberkel dapat terjadi segera atau beberapa bulan/tahun sejak seseorang terkena infeksi awal tergantung pada daya tahan tubuhnya.
  • Proses infeksi di otak ini akan meningkatkan tekanan dalam kepala yang menyebabkan rusaknya syaraf dan jaringan dalam otak yang biasanya berat/parah.

Gejala apa saja yang dapat terjadi pada meningitis TB?

Pada tahap awal penyakit, gejala meningitis TB biasanya tidak khas dan berlangsung selama beberapa minggu.  Gejala awal tersebut dapat berupa:  

  • Demam dan menggigil
  • Perubahan status mental
  • Mual dan muntah
  • Sensitif terhadap cahaya
  • Sakit kepala terus-menerus
  • Malaise (lesu, mual, tidak nafsu makan)
  • Leher kaku
  • Agitasi
  • Fontanel (bagian lunak di antara pelat tengkorak kepala pada bagian atas dan belakang kepala bayi) menggembung pada bayi
  • Penurunan kesadaran

Bagaimana pengobatan meningitis TB?

Seseorang yang didicurigai atau dinyatakan terkena infeksi meningitis TB perlu dilakukan rawat inap di rumah sakit untuk dipantau perkembangan penyakitnya. Sebelum dinyatakan menderita meningitis TB, seseorang akan menjalani serangkaian pemeriksaan seperti pemeriksaan fisik oleh dokter, pemeriksaan laboratorium, foto rontgen dada, Computed Tomography Scanning (CT- scan) kepala, dan pemeriksaan cairan otak (cairan serebrospinal). Pemeriksaan cairan otak yang dikenal dengan nama lumbal pungsi ini akan dilakukan oleh dokter spesialis syaraf. Rangkaian pemeriksaan ini perlu dilakukan agar diketahui benar apakah seseorang menderita penyakit meningitis yang disebabkan oleh bakteri tuberkulosis atau meningitis jenis lainnya.

Stadium meningitis tuberkulosis pada saat awal pasien datang ke rumah sakit merupakan faktor penting penentu keluaran klinis pasien. The British Medical Research Council (BMRC) telah membagi derajat beratnya meningitis tuberkulosis menjadi 3 stadium, yaitu stadium I, II, dan III. Pasien masuk dalam stadium I jika saat awal datang dalam keadaan sadar penuh dan menunjukkan gejala yang tidak spesifik. Pasien masuk dalam stadium II jika saat awal datang letargi atau didapatkan defisit saraf kranial. Pasien masuk dalam stadium III jika saat awal datang stupor-koma dan mengalami paresis/paralisis yang jelas. Stadium penyakit tersebut menentukan mortalitas pasien. Pada pasien tanpa koinfeksi HIV, stadium I memiliki mortalitas 20%, stadium II memiliki mortalitas 30%, dan stadium III memiliki mortalitas 55% [6]. Pada pasien dengan koinfeksi HIV, stadium I memiliki mortalitas 40%, stadium II memiliki mortalitas 52%, dan stadium III memiliki mortalitas 75% [7].

Tuberkulosis paru dan ekstraparu ditatalaksana dengan regimen antituberkulosis yang sama, yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol selama dua (2) bulan fase intensif dan rifampisin, isoniazid selama empat (4) bulan fase lanjutan (2RHZE/4RH). Selama menjalani pengobatan meningitis TB, penderita diharuskan untuk kontrol rutin ke fasilitas kesehatan (klinik, puskesmas, atau rumah sakit) untuk dipantau respons pengobatan, apakah ada efek samping akibat obat-obatan, hingga perkembangan penyakitnya. Para ahli juga merekomendasikan pemberian terapi obat anti tuberkulosis (OAT) pada meningitis tuberkulosis selama minimal 9 hingga 12 bulan [8]. WHO dan PDPI mengklasifikasikan meningitis tuberkulosis (tuberkulosis ekstra paru, kasus berat) ke dalam kategori I terapi tuberkulosis. Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus meningitis tuberkulosis umumnya diperpanjang hingga 7 atau 10 bulan. Namun, pada pasien ini diberikan terapi OAT awal berupa RHZES. Penambahan streptomisin merupakan tatalaksana tepat karena tuberkulosis dengan kondisi berat atau mengancam nyawa dapat diberikan streptomisin [9]. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun