Kalau beberapa dekade lalu punya rumah sendiri adalah impian utama setiap keluarga muda, sekarang ceritanya bisa berbeda jauh. Semakin banyak orang, terutama generasi muda, justru memilih untuk menyewa atau tinggal bersama orang tua ketimbang mengambil Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sekilas, keputusan ini mungkin terlihat seperti penghindaran tanggung jawab finansial. Tapi kalau digali lebih dalam, ada sejumlah alasan sosial, ekonomi, dan bahkan psikologis yang membuat masyarakat enggan menjadikan KPR sebagai solusi.
Tulisan ini bukan sekadar menjelaskan bahwa bunga tinggi atau cicilan panjang jadi hambatan. Lebih dari itu, ini adalah upaya membuka ruang diskusi: mungkinkah sistem KPR yang sudah ada selama puluhan tahun memang tidak lagi relevan dengan realitas masyarakat hari ini?
Harga Rumah Semakin Tidak Masuk Akal, Bahkan untuk Orang dengan Gaji  Wajar
Kalau kamu tanya seseorang berpenghasilan Rp7 juta sebulan apakah dia mampu beli rumah lewat KPR, kebanyakan akan geleng kepala. Bukan karena mereka malas menabung, tapi karena angka harga rumah sekarang sudah tidak masuk akal jika dibandingkan dengan pendapatan rata-rata pekerja.
Dalam data Bank Indonesia, rasio ideal harga rumah terhadap penghasilan (price to income ratio) seharusnya di angka 3-4 kali pendapatan tahunan. Namun di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya, rasio ini bisa menembus 10 hingga 15 kali lipat. Artinya, orang harus menabung seluruh penghasilannya selama lebih dari 10 tahun tanpa menyentuh uang itu sama sekali hanya untuk membeli rumah kelas bawah.
Masalahnya, rumah yang tersedia di harga "terjangkau" biasanya terletak sangat jauh dari pusat kota, tanpa akses transportasi memadai, dan sering kali kualitas bangunannya buruk. Akhirnya, keputusan untuk tidak mengambil KPR bukan karena keinginan, tapi lebih karena realitas ekonomi yang tidak memihak. Kalau tetap dipaksakan, yang terjadi justru tekanan finansial yang bisa menghancurkan kualitas hidup.
KPR Dipandang Sebagai Perangkap Utang Jangka Panjang yang Menakutkan
Ada pergeseran pandangan generasi terhadap utang. Kalau dulu utang rumah dianggap sebagai "utang baik", sekarang banyak yang melihat KPR sebagai bentuk perbudakan finansial yang dibungkus dalam narasi impian.
Di media sosial, makin banyak cerita orang yang terjebak cicilan KPR selama puluhan tahun tapi akhirnya menyerah karena bunga yang terus naik, biaya tak terduga seperti pajak dan asuransi, atau karena kehilangan pekerjaan. Ini memicu ketakutan kolektif. Sekali salah langkah, rumah bisa disita, nama masuk daftar hitam BI Checking, dan sulit mengakses fasilitas keuangan lain.
Dan jangan lupakan ketidakstabilan ekonomi pasca pandemi. Banyak yang mulai sadar bahwa fleksibilitas dan mobilitas justru jadi kebutuhan utama. Mengikat diri dengan utang 20 tahun bisa jadi pilihan yang tidak masuk akal, apalagi kalau gaya hidup digital memungkinkan kerja dari mana saja. Sebagian memilih menyewa rumah sambil berinvestasi di instrumen yang lebih likuid seperti reksa dana atau saham.