Pernah nggak, kamu merasa konflik ribuan kilometer dari rumah ternyata berdampak ke kehidupan sehari-hari terlebih untuk negara-negara berkembang di ASEAN? Perang Iran–Israel mungkin tampak jauh, tapi getarannya nyentuh hingga warung kopi di Medan, pasar malam di Jakarta, hingga industri pelayaran di Singapura. Artikel ini mencoba menyuguhi sudut pandang baru yang tanpa basi, menggali kenapa konflik yang rasanya jauh ini bisa mengubah peta ekonomi, sosial, bahkan cara pandang kita di ASEAN.
Energi, Inflasi, dan Geopolitik
Sumber energi adalah urat nadi ekonomi negara-negara yang tergabung di ASEAN, dan minyak dari Timur Tengah masih jadi andalan. Selat Hormuz, sebagai jalur strategis pengiriman minyak global, jadi pusat perhatian saat konflik memanas. Bayangin aja, kalau Iran memilih memblokir akses ke selat ini sebagai bentuk tekanan, maka harga minyak dunia akan langsung moncer dan artinya, BBM kamu di SPBU bisa langsung tembus Rp 20.000+. Tapi bukan cuma harga bahan bakar yang terdampak. Inflasi muncul dalam wujud kenaikan ongkos produksi barang, kebutuhan pokok, hingga harga tiket pesawat dan logistik. Jadi, peristiwa di sana bisa bikin kantong masyarakat di sini kempes.
Tapi ada sisi lainnya adalah ASEAN sadar betul bahwa krisis energi adalah peluang untuk mengakselerasi transisi ke energi terbarukan. Negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina sedang getol menyuntik investasi hijau agar tak terus terkatung-katung tergantung energi fosil. Contohnya, proyek PLTS terapung di Jawa Barat dan rencana Mass Rapid Transit bertenaga listrik di Bangkok. Konteks konflik justru jadi pemicu masuknya modal hijau, karena investor global mulai pandang ASEAN sebagai alternatif yang lebih stabil dan masa depan.
Solidaritas Agama Vs Keragaman Budaya
ASEAN bukan monolit; masyarakatnya multikultural dan beragam agama. Ketika konflik di Timur Tengah menciutkan berita dan narasi “agama menegakkan balas dendam,” solidaritas umat Muslim di ASEAN turut menyala. Demonstrasi pro‐Palestina, misalnya, mulai muncul di kota‐kota besar seperti Jakarta dan Kuala Lumpur. Sekilas ini tampak seperti koreksi moral tapi kita perlu hati‐hati agar opini publik nggak melenceng jadi sentimen anti‐negara tertentu atau ekstremisme.
Di sisi lain, konflik ini mendekatkan kembali ASEAN ke jati diri kemanusiaannya. Komunitas lintas agama antarkota saling mengadakan dialog lintas kepercayaan, menumbuhkan suasana inklusif yang jarang tercerminkan di media utama. Misalnya, bersama‐sama mengadakan acara buka puasa bersama (bukber) atau forum antarumat beragama yang mengusung tema “Perdamaian Adalah Jalan Masa Depan.” Pandangan percaya bahwa konflik global adalah kesempatan untuk mendidik masyarakat akan pentingnya toleransi dalam kehidupan sehari-hari.
Dari Panggung Diplomasi Hingga Korelasi Ekonomi‐Pertahanan
Biasa kita mengenal ASEAN sebagai forum nonintervensi dan menjaga jarak dari konflik dunia. Namun kiprah di situasi Iran–Israel bisa jadi titik balik. Beberapa diplomat regional mulai membuka diskusi informal dengan rekan dari Timur Tengah lewat forum‐forum seperti The ASEAN Regional Forum (ARF). Intinya adalah ASEAN ingin menjadi 'pemadam api global' dari sudut diplomatik, bukan sekadar penonton.
Secara tak langsung, peran ini memperkuat posisi ASEAN sebagai entitas geopolitik yang dihormati. Misal, ketika media internasional menyoroti pernyataan “ASEAN bersedia fasilitasi dialog damai,” itu meningkatkan reputasi kawasan. Penilaian ini berdampak positif pada arus investasi, karena jutaan investor mencari wilayah dengan isu politik relatif ringan dibandingkan Timur Tengah.