Konflik di Timur Tengah sudah terlalu lama menjadi panggung kekerasan, intrik politik, dan tarik-menarik kepentingan global. Nama Amerika Serikat selalu muncul dalam setiap percakapan tentang kekacauan di kawasan ini, seolah tak bisa dipisahkan dari perang, kudeta, blokade, dan krisis kemanusiaan. Tapi pertanyaannya, apakah Amerika benar-benar dalang utama dari semua itu? Atau kita hanya terjebak pada narasi usang yang terus diulang-ulang tanpa menggali kenyataan yang lebih kompleks?
Peran Amerika Cermin Kepentingan Global
Banyak yang percaya bahwa kehadiran Amerika di Timur Tengah hanyalah bentuk imperialisme gaya baru. Tapi narasi ini sering kali berhenti di permukaan dan lupa bahwa setiap negara adidaya bergerak berdasarkan logika kekuasaan dan kepentingan, bukan sekadar nafsu ekspansi.
Amerika memang tak pernah benar-benar netral. Namun keterlibatannya di Timur Tengah tak bisa dilihat secara hitam-putih. Keputusan untuk terlibat dalam Perang Teluk, invasi ke Irak, dukungan kepada Israel, atau negosiasi damai dengan negara-negara Teluk adalah hasil dari kalkulasi geopolitik yang rumit.
Lebih dari sekadar soal minyak, kehadiran Amerika adalah upaya mempertahankan dominasinya di dunia multipolar. Timur Tengah adalah titik temu tiga benua, pusat cadangan energi global, dan wilayah strategis untuk mengontrol arus laut serta pengaruh ideologis. Bagi Amerika, membiarkan kawasan ini dikendalikan oleh musuhnya---entah itu Rusia, Iran, atau kekuatan ekstrem adalah risiko yang terlalu besar.
Fakta yang jarang dibahas adalah bahwa Amerika sering kali masuk ke Timur Tengah bukan karena ingin, tapi karena "diundang". Banyak negara di kawasan itu justru meminta perlindungan, bantuan militer, atau dukungan politik dari Amerika untuk mempertahankan rezimnya. Dari Arab Saudi hingga Kuwait, dari Mesir hingga Irak pasca-Saddam, semua memiliki sejarah keterikatan dengan Washington yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan domestik mereka sendiri.
Timur Tengah Sebelum Amerika
Kesalahan umum dalam membaca konflik Timur Tengah adalah menganggap semuanya dimulai ketika Amerika masuk ke wilayah ini. Padahal sejarah mencatat bahwa Timur Tengah sudah lama menjadi ladang pertikaian sejak era kekhalifahan, kolonialisme Eropa, hingga Perang Dunia. Bahkan sebelum Amerika menjadi superpower, kawasan ini sudah penuh dengan luka akibat pecahnya Kesultanan Utsmaniyah, penjajahan Inggris dan Prancis, serta perebutan wilayah yang ditentukan oleh peta arbitrer seperti Perjanjian Sykes-Picot tahun 1916.
Apa yang dilakukan Amerika di abad ke-20 dan ke-21 adalah mewarisi kekacauan yang ditinggalkan oleh kekuatan kolonial lama dan kadang memperparahnya, tapi tidak menciptakan dari nol. Perang saudara di Lebanon, kudeta di Mesir, konflik Palestina-Israel, bahkan munculnya ISIS, semuanya berakar dari dinamika internal yang sudah ada jauh sebelum tentara AS menginjakkan kaki di Timur Tengah.
Ini bukan untuk membebaskan Amerika dari tanggung jawab, tapi untuk mengingatkan bahwa tidak semua konflik bisa disimplifikasi jadi "Amerika datang, konflik terjadi". Sebagian besar konflik adalah hasil dari percampuran kompleks antara identitas, politik domestik, sejarah kolonial, dan rivalitas regional yang mengakar dalam.