Mungkin kamu pernah melihatnya, atau bahkan mengalaminya langsung. CV yang sudah kamu siapkan dengan matang tak kunjung dibalas. Lamaran kerja yang kamu kirim ke puluhan perusahaan hanya berakhir dengan satu pesan klise: "Maaf, kamu belum sesuai kriteria kami." Bukan karena kamu tidak bisa. Tapi karena kamu sudah terlalu "berumur". Atau mungkin maaf tidak cukup "menarik" secara fisik di mata pewawancara.
Di balik kemajuan teknologi dan semangat inklusivitas yang sering dikampanyekan, dunia kerja masih menyimpan luka lama yang belum sembuh yaitu diskriminasi berbasis usia dan penampilan fisik. Dua hal yang seharusnya tidak relevan, tapi nyatanya sangat menentukan.
Kenapa Usia dan Wajah Masih Dijadikan Ukuran?
Kita hidup di zaman yang katanya meritokratis. Di mana siapa pun, selama punya kemampuan, seharusnya bisa mendapat kesempatan yang sama. Tapi kenyataannya, banyak lowongan kerja yang secara terang-terangan menetapkan syarat usia maksimal. Seakan-akan kompetensi punya tanggal kadaluarsa.
Ada pandangan lama yang masih hidup di banyak perusahaan bahwa pekerja muda lebih "segar", cepat belajar, dan lebih loyal. Padahal, studi dari Harvard Business Review justru menemukan bahwa pekerja berusia 40 ke atas cenderung memiliki etos kerja yang lebih stabil dan lebih minim konflik. Tapi tetap saja, banyak HRD yang masih menganggap angka umur sebagai tanda bahaya.
Penampilan juga tidak kalah memengaruhi. Dalam sektor pelayanan, sales, dan bahkan pekerjaan administratif, frasa "berpenampilan menarik" sering muncul tanpa definisi yang jelas. Ini membuka ruang interpretasi yang sangat subjektif dan seringkali bias. Banyak kandidat dengan kemampuan luar biasa akhirnya tersingkir hanya karena tidak memenuhi standar visual tertentu yang seringkali absurd. Ini bukan sekadar masalah estetika. Ini tentang keadilan, hak untuk bekerja, dan nilai manusia yang sering kali direduksi menjadi usia dan rupa.
Diskriminasi Halus yang Sulit Diprotes
Salah satu masalah besar dari diskriminasi berbasis usia dan penampilan adalah bentuknya yang sangat halus. Banyak perusahaan tidak akan secara eksplisit mengatakan, "Kami hanya ingin yang muda dan cantik." Tapi mereka menyisipkan kode dalam iklan lowongan: "usia maksimal 27 tahun," "berpenampilan menarik," atau "enerjik dan segar".
Kalau kamu protes, jawabannya sederhana yang menggelikan "Itu hak perusahaan." Dan di sinilah masalahnya. Diskriminasi ini sering dibungkus dalam kata-kata normatif dan prosedural. Seolah-olah semuanya netral dan profesional, padahal kenyataannya tidak semua pelamar diberi panggung yang setara sejak awal.
Lebih rumit lagi, tidak ada hukum ketenagakerjaan di Indonesia yang secara tegas melarang diskriminasi berdasarkan penampilan fisik atau batas usia yang tidak relevan. Bahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya menyebut soal kesempatan kerja yang adil, tapi tidak punya instrumen eksekusi yang jelas. Akibatnya, perusahaan bisa tetap menolak pelamar hanya karena faktor-faktor yang tak ada hubungannya dengan kapasitas kerja.