Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Batas Usia dan Penampilan Menutup Pintu Kesempataan Kerja

1 Juni 2025   10:15 Diperbarui: 1 Juni 2025   09:19 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi para pencari kerja (KOMPAS.com/AZWA SAFRINA) 

Mungkin kamu pernah melihatnya, atau bahkan mengalaminya langsung. CV yang sudah kamu siapkan dengan matang tak kunjung dibalas. Lamaran kerja yang kamu kirim ke puluhan perusahaan hanya berakhir dengan satu pesan klise: "Maaf, kamu belum sesuai kriteria kami." Bukan karena kamu tidak bisa. Tapi karena kamu sudah terlalu "berumur". Atau mungkin maaf tidak cukup "menarik" secara fisik di mata pewawancara.

Di balik kemajuan teknologi dan semangat inklusivitas yang sering dikampanyekan, dunia kerja masih menyimpan luka lama yang belum sembuh yaitu diskriminasi berbasis usia dan penampilan fisik. Dua hal yang seharusnya tidak relevan, tapi nyatanya sangat menentukan.

Kenapa Usia dan Wajah Masih Dijadikan Ukuran?

Kita hidup di zaman yang katanya meritokratis. Di mana siapa pun, selama punya kemampuan, seharusnya bisa mendapat kesempatan yang sama. Tapi kenyataannya, banyak lowongan kerja yang secara terang-terangan menetapkan syarat usia maksimal. Seakan-akan kompetensi punya tanggal kadaluarsa.

Ada pandangan lama yang masih hidup di banyak perusahaan bahwa pekerja muda lebih "segar", cepat belajar, dan lebih loyal. Padahal, studi dari Harvard Business Review justru menemukan bahwa pekerja berusia 40 ke atas cenderung memiliki etos kerja yang lebih stabil dan lebih minim konflik. Tapi tetap saja, banyak HRD yang masih menganggap angka umur sebagai tanda bahaya.

Penampilan juga tidak kalah memengaruhi. Dalam sektor pelayanan, sales, dan bahkan pekerjaan administratif, frasa "berpenampilan menarik" sering muncul tanpa definisi yang jelas. Ini membuka ruang interpretasi yang sangat subjektif dan seringkali bias. Banyak kandidat dengan kemampuan luar biasa akhirnya tersingkir hanya karena tidak memenuhi standar visual tertentu yang seringkali absurd. Ini bukan sekadar masalah estetika. Ini tentang keadilan, hak untuk bekerja, dan nilai manusia yang sering kali direduksi menjadi usia dan rupa.

Diskriminasi Halus yang Sulit Diprotes

Salah satu masalah besar dari diskriminasi berbasis usia dan penampilan adalah bentuknya yang sangat halus. Banyak perusahaan tidak akan secara eksplisit mengatakan, "Kami hanya ingin yang muda dan cantik." Tapi mereka menyisipkan kode dalam iklan lowongan: "usia maksimal 27 tahun," "berpenampilan menarik," atau "enerjik dan segar".

Kalau kamu protes, jawabannya sederhana yang menggelikan "Itu hak perusahaan." Dan di sinilah masalahnya. Diskriminasi ini sering dibungkus dalam kata-kata normatif dan prosedural. Seolah-olah semuanya netral dan profesional, padahal kenyataannya tidak semua pelamar diberi panggung yang setara sejak awal.

Lebih rumit lagi, tidak ada hukum ketenagakerjaan di Indonesia yang secara tegas melarang diskriminasi berdasarkan penampilan fisik atau batas usia yang tidak relevan. Bahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya menyebut soal kesempatan kerja yang adil, tapi tidak punya instrumen eksekusi yang jelas. Akibatnya, perusahaan bisa tetap menolak pelamar hanya karena faktor-faktor yang tak ada hubungannya dengan kapasitas kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun