Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Barang Sekali Pakai Jadi Bencana Lingkungan

26 Mei 2025   13:21 Diperbarui: 26 Mei 2025   06:23 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kantong sampah, kantong plastik sampah. (FREEPIK/JCOMP)

Tidak semua kenyamanan itu baik. Ada kenyamanan yang diam-diam menciptakan kerusakan besar, dan salah satunya datang dari barang sekali pakai. Di permukaan, mereka terlihat seperti solusi praktis bagi kehidupan modern cepat, higienis, dan murah. Tapi di balik itu, mereka menyimpan cerita pilu tentang bumi yang perlahan sekarat. Mungkin terdengar dramatis, tapi sayangnya, itulah kenyataannya. Artikel ini akan membedah secara dalam bagaimana barang-barang sekali pakai yang tampaknya remeh telah menjadi aktor utama dalam drama besar krisis lingkungan global.

Sampah Modern yang Tidak Modern Evolusi Barang Sekali Pakai

Barang sekali pakai awalnya diciptakan sebagai solusi praktis. Dalam catatan sejarah, produk seperti tisu toilet atau botol plastik pertama kali diproduksi massal pada pertengahan abad ke-20, di tengah meledaknya budaya konsumsi pasca Perang Dunia II. Pada saat itu, dunia sedang jatuh cinta pada ide efisiensi dan kebersihan. Botol kaca yang harus dicuci digantikan oleh botol plastik yang langsung bisa dibuang. Tisu menggantikan sapu tangan. Alat makan plastik menggantikan sendok logam.

Tapi seiring meningkatnya permintaan dan gaya hidup instan, penggunaan barang sekali pakai justru meledak tidak terkendali. Di era 2000-an, industri makanan cepat saji, e-commerce, dan layanan delivery makin memperparah keadaan. Hari ini, kita menyaksikan jutaan plastik pembungkus makanan, bubble wrap, kantong belanja, dan sedotan berserakan di berbagai sudut kota dan yang menyedihkan, sebagian besar darinya tidak bisa terurai dalam waktu cepat.

Masalahnya bukan hanya pada jumlah, tapi juga komposisinya. Banyak produk sekali pakai terbuat dari campuran plastik, resin, dan bahan kimia lain yang membuatnya sulit didaur ulang. Sebagian besar berakhir sebagai limbah yang menetap di tanah dan air selama ratusan tahun.

Ekosistem Laut di Ujung Tanduk Sampah Sekali Pakai Menyusup ke Rantai Makanan

Jika kamu mengira sampah ini hanya menumpuk di darat, pikir lagi. Mikroplastik dari barang sekali pakai telah menyebar sampai ke palung terdalam laut dan es Arktik. Penelitian terbaru dari jurnal Environmental Science & Technology menemukan bahwa mikroplastik sekarang ditemukan di plasenta manusia. Artinya, plastik sekali pakai yang kamu buang kemarin bisa saja sedang bersirkulasi dalam tubuh seseorang hari ini.

Setiap tahun, lebih dari 11 juta ton sampah plastik masuk ke laut. Sebagian besar berasal dari barang sekali pakai: kantong plastik, sedotan, bungkus makanan, dan styrofoam. Penyu mengira kantong plastik adalah ubur-ubur. Ikan kecil memakan mikroplastik karena bentuknya menyerupai plankton. Dan manusia yang ada di ujung rantai makanan laut pada akhirnya mengonsumsi zat yang sama tanpa sadar.

Tak hanya itu, pencemaran laut oleh limbah sekali pakai juga merusak terumbu karang dan mempercepat pemutihan karang yang menjadi rumah bagi jutaan spesies. Jika karang mati, maka seluruh ekosistem pun perlahan runtuh. Laut bukan lagi sumber kehidupan, tapi berubah menjadi kuburan sunyi.

Mengapa Kita Masih Terjebak? Ketergantungan Sistemik yang Mengakar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun