Sekolah seharusnya menjadi tempat aman untuk siswa bisa menimbah ilmu dan bertumbuh Tapi apa jadinya kalau justru di tempat itu, anak-anak mulai kehilangan rasa aman karena jadi korban perundungan? Lebih ironis lagi, semua ini terjadi di tengah keberadaan komite sekolah yang katanya bertugas mengawasi dan menjamin keamanan serta kenyamanan peserta didik. Jadi pertanyaannya, apa gunanya komite sekolah kalau perundungan tetap merajalela?
Masalah ini bukan hanya soal kegagalan satu lembaga pendidikan, tapi cerminan dari lemahnya sistem pengawasan yang sudah ada. Dalam artikel ini, kamu akan diajak menyelami persoalan ini lebih dalam, dengan sudut pandang yang mungkin belum pernah kamu dengar sebelumnya.
Komite Sekolah Fungsi di Atas Kertas vs. Realitas Lapangan
Secara resmi, komite sekolah smerupakan wadah independen yang dibentuk untuk mendorong peran serta masyarakat dalam peningkatan mutu layanan pendidikan. Di atas kertas, fungsinya sangat mulia: memberi pertimbangan, mendukung secara moral maupun material, serta mengawasi kebijakan dan program sekolah.
Tapi, kenyataannya berbeda. Komite sekolah yang seharunya menjadi pagar dalam menindungi dan memastikan sekolah sesuai tugasnya tak lebih hanya formalitas administratif. Keanggotaannya sering diisi oleh orang tua murid yang dipilih asal-asalan atau karena kedekatan personal dengan pihak sekolah, bukan berdasarkan kapasitas atau komitmen terhadap perlindungan siswa. Alhasil, banyak keputusan strategis sekolah, termasuk soal penanganan kekerasan dan perundungan, justru terjadi tanpa campur tangan atau pengawasan dari komite.
Lebih parah lagi, sebagian anggota komite bahkan tidak benar-benar tahu apa tugas dan wewenangnya. Banyak yang datang hanya saat rapat tahunan atau ketika ada permintaan dana. Dalam kasus-kasus perundungan, keberadaan mereka nyaris tak terasa. Padahal, jika komite berfungsi sebagaimana mestinya, mereka bisa menjadi pihak ketiga yang netral dan kritis dalam menindak kasus-kasus kekerasan di sekolah.
Perundungan Masalah yang Tak Lagi Tersembunyi
Dulu, perundungan sering dianggap hal biasa. Sekadar "canda anak-anak" atau "ujian mental" bagi siswa baru. Ini adalah hal yang salah, dimana efek perundungan sudah terbukti sangat serius terutama dalam ng lingkup sekolah. Data dari KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menunjukkan bahwa kasus kekerasan di sekolah meningkat dari tahun ke tahun, dengan perundungan sebagai salah satu bentuk kekerasan paling dominan.
Yang lebih mengejutkan, banyak kasus terjadi tanpa pernah dilaporkan secara resmi. Siswa korban sering memilih diam karena takut dibalas, malu, atau tidak percaya sekolah akan melindunginya. Di sisi lain, pelaku perundungan kadang justru dilindungi oleh sistem, karena berasal dari keluarga "berpengaruh" atau dikenal dekat dengan pihak sekolah.
Di tengah situasi ini, komite sekolah seharusnya bisa menjadi harapan. Tapi kenyataannya, mereka tidak memiliki mekanisme aduan yang jelas, tidak mengawasi proses penyelesaian kasus secara menyeluruh, bahkan tidak punya akses terhadap data atau laporan internal sekolah. Komite hanya tahu jika pihak sekolah bersedia memberi tahu dan biasanya itu terjadi saat masalah sudah viral atau mendapat sorotan media.