Pernah nggak kamu mikir, gimana rasanya sekolah di tempat yang toiletnya rusak, nggak ada air, dan bahkan pintunya bolong-bolong? Mungkin buat sebagian orang, itu cuma cerita dari daerah tertinggal. Tapi nyatanya, pemandangan semacam ini masih sangat nyata, bahkan di sekolah yang jaraknya cuma beberapa jam dari pusat kota. Kita terlalu lama memaklumi bahwa toilet sekolah itu kotor, bau, atau bahkan nggak bisa dipakai. Dan yang paling menyedihkan, seolah semua itu bukan masalah besar.
Sanitasi di sekolah bukan cuma soal kenyamanan. Ini soal kesehatan, martabat, dan masa depan generasi muda. Tapi sayangnya, topik ini jarang masuk headline, apalagi jadi prioritas utama dalam kebijakan pendidikan. Kita sibuk ngejar nilai, ranking, dan teknologi padahal banyak siswa masih harus buang air di balik semak karena toiletnya ambruk dan airnya nggak ngalir.
Realitas di Balik Tembok Sekolah yang Tak Terlihat di Data Statistik
Kalau kamu baca laporan pemerintah, kamu mungkin akan lihat persentase "akses sanitasi dasar" di sekolah-sekolah Indonesia makin meningkat tiap tahun. Tapi coba deh kamu datangi langsung sekolah di pelosok Kalimantan, Nusa Tenggara, atau perbatasan Papua. Banyak dari mereka yang punya toilet, iya, tapi nggak punya air. Ada juga yang punya bangunan toilet, tapi terkunci karena septic tank-nya penuh dan nggak pernah disedot sejak dibangun.
Masalahnya bukan cuma infrastruktur. Tapi sistem. Banyak sekolah yang bergantung pada bantuan pembangunan, tanpa ada anggaran rutin untuk perawatan. Toilet dibangun sekali, lalu dibiarkan rusak pelan-pelan. Air bersih yang tadinya dialirkan dari sumur pun kadang mati karena pompa rusak, dan nggak ada dana buat servis. Guru-guru pun akhirnya sibuk nyari solusi sendiri, dari urunan sampai pakai air hujan.
Hal yang nggak kalah serius adalah sanitasi menstruasi. Banyak siswi yang memilih nggak masuk sekolah saat haid karena nggak ada tempat ganti pembalut yang layak. Mereka malu, nggak nyaman, dan kadang malah dimarahi karena "bolos". Padahal, ini adalah bagian dari hak dasar sebagai pelajar perempuan sering kali diabaikan karena dianggap urusan pribadi.
Situasi ini nyaris nggak kelihatan di atas kertas. Karena dalam indikator resmi, yang dihitung cuma keberadaan fasilitas. Bukan fungsinya. Bukan kualitas airnya. Dan bukan rasa aman atau nyaman penggunanya. Padahal di sanalah masalah yang sebenarnya.
 Bagaimana Toilet Buruk Merusak Kesehatan Mental Anak
Kita terlalu sering menganggap sanitasi sebagai isu teknis. Tapi kalau kamu gali lebih dalam, kamu bakal kaget. Toilet yang kotor, bau, atau nggak layak pakai itu bukan cuma mengganggu fisik, tapi juga nyerang psikologis anak-anak.
Dan efek psikologisnya bertahan lama. Siswa bisa merasa malu, rendah diri, bahkan menganggap sekolah sebagai tempat yang nggak aman. Mereka kehilangan kepercayaan diri, dan lebih buruknya lagi, motivasi belajar ikut anjlok.