Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sanitasi di Sekolah Masalah Lama yang Tak Kunjung ada Solusi

20 Mei 2025   11:13 Diperbarui: 20 Mei 2025   07:13 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sanitasi(thinkstock) 

Pernah nggak kamu mikir, gimana rasanya sekolah di tempat yang toiletnya rusak, nggak ada air, dan bahkan pintunya bolong-bolong? Mungkin buat sebagian orang, itu cuma cerita dari daerah tertinggal. Tapi nyatanya, pemandangan semacam ini masih sangat nyata, bahkan di sekolah yang jaraknya cuma beberapa jam dari pusat kota. Kita terlalu lama memaklumi bahwa toilet sekolah itu kotor, bau, atau bahkan nggak bisa dipakai. Dan yang paling menyedihkan, seolah semua itu bukan masalah besar.

Sanitasi di sekolah bukan cuma soal kenyamanan. Ini soal kesehatan, martabat, dan masa depan generasi muda. Tapi sayangnya, topik ini jarang masuk headline, apalagi jadi prioritas utama dalam kebijakan pendidikan. Kita sibuk ngejar nilai, ranking, dan teknologi padahal banyak siswa masih harus buang air di balik semak karena toiletnya ambruk dan airnya nggak ngalir.

Realitas di Balik Tembok Sekolah yang Tak Terlihat di Data Statistik

Kalau kamu baca laporan pemerintah, kamu mungkin akan lihat persentase "akses sanitasi dasar" di sekolah-sekolah Indonesia makin meningkat tiap tahun. Tapi coba deh kamu datangi langsung sekolah di pelosok Kalimantan, Nusa Tenggara, atau perbatasan Papua. Banyak dari mereka yang punya toilet, iya, tapi nggak punya air. Ada juga yang punya bangunan toilet, tapi terkunci karena septic tank-nya penuh dan nggak pernah disedot sejak dibangun.

Masalahnya bukan cuma infrastruktur. Tapi sistem. Banyak sekolah yang bergantung pada bantuan pembangunan, tanpa ada anggaran rutin untuk perawatan. Toilet dibangun sekali, lalu dibiarkan rusak pelan-pelan. Air bersih yang tadinya dialirkan dari sumur pun kadang mati karena pompa rusak, dan nggak ada dana buat servis. Guru-guru pun akhirnya sibuk nyari solusi sendiri, dari urunan sampai pakai air hujan.

Hal yang nggak kalah serius adalah sanitasi menstruasi. Banyak siswi yang memilih nggak masuk sekolah saat haid karena nggak ada tempat ganti pembalut yang layak. Mereka malu, nggak nyaman, dan kadang malah dimarahi karena "bolos". Padahal, ini adalah bagian dari hak dasar sebagai pelajar perempuan sering kali diabaikan karena dianggap urusan pribadi.

Situasi ini nyaris nggak kelihatan di atas kertas. Karena dalam indikator resmi, yang dihitung cuma keberadaan fasilitas. Bukan fungsinya. Bukan kualitas airnya. Dan bukan rasa aman atau nyaman penggunanya. Padahal di sanalah masalah yang sebenarnya.

 Bagaimana Toilet Buruk Merusak Kesehatan Mental Anak

Kita terlalu sering menganggap sanitasi sebagai isu teknis. Tapi kalau kamu gali lebih dalam, kamu bakal kaget. Toilet yang kotor, bau, atau nggak layak pakai itu bukan cuma mengganggu fisik, tapi juga nyerang psikologis anak-anak.

Dan efek psikologisnya bertahan lama. Siswa bisa merasa malu, rendah diri, bahkan menganggap sekolah sebagai tempat yang nggak aman. Mereka kehilangan kepercayaan diri, dan lebih buruknya lagi, motivasi belajar ikut anjlok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun