Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menatap Wajah Pilu Lansia di Negeri ini

19 Mei 2025   06:51 Diperbarui: 19 Mei 2025   06:51 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi layanan kesehatan lansia(canva.com)

Kita sering menyebut diri bangsa yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Tapi coba sesekali perhatikan lansia yang duduk di sudut trotoar menjajakan tisu, atau yang tertatih-tatih mendorong gerobak penuh barang bekas. Pertanyaannya bukan hanya kenapa mereka bekerja di usia senja, tapi mengapa mereka harus terus bertahan diusia renta mereka dalam ketidakpastian, tanpa jaminan sosial atau rasa aman yang seharusnya sudah mereka nikmati setelah puluhan tahun hidup dan bekerja.

Fenomena ini bukan sekadar cerita sedih, tapi potret nyata dari sistem yang gagal memahami esensi kesejahteraan lansia. Dan jika kamu pikir ini hanya terjadi pada segelintir orang, kamu mungkin perlu melihat data dan kenyataan di balik dinding-dinding rumah kecil, rusun sederhana, atau gang sempit tempat para lansia miskin bertahan hidup dalam senyap.

Realitas Pahit  Lansia Miskin dan Sistem yang Terabaikan

Menurut data Badan Pusat Statistik, lebih dari 10% penduduk Indonesia adalah lansia. Dari jumlah itu, jutaan di antaranya hidup dalam garis kemiskinan atau nyaris menyentuhnya. Artinya, mereka tak punya tabungan cukup, tak punya rumah layak, bahkan terkadang tak punya akses ke layanan kesehatan dasar.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah banyak dari mereka tidak pernah tercatat sebagai penerima program pensiun. Alasannya sederhana tapi mengerikan karena seumur hidup mereka bekerja di sektor informal: tukang ojek, pedagang kecil, buruh lepas, atau ibu rumah tangga yang tak punya penghasilan tetap.

Sistem jaminan sosial di negeri ini memang masih bersifat eksklusif. Program pensiun yang dikelola pemerintah, misalnya, lebih banyak menyasar pegawai negeri atau karyawan formal yang terdaftar. Sementara jutaan pekerja informal yang jumlahnya mendominasi pasar kerja Indonesia, seperti tenggelam dalam kebijakan yang tak pernah menyentuh akar persoalan.

Ironisnya, lansia yang paling membutuhkan perlindungan sosial justru sering menjadi yang paling sulit mengaksesnya. Proses birokrasi yang rumit, kurangnya sosialisasi, hingga minimnya kepercayaan pada institusi, jadi penghalang yang seolah terus dibiarkan.


Pensiun yang Hanya Mimpi Ketimpangan yang Nyata dan Terstruktur

Dalam banyak budaya maju, pensiun adalah fase hidup yang menandakan masa tenang setelah berkontribusi bagi masyarakat. Tapi di sini, pensiun sering kali hanya impian yang jauh dari realitas, kecuali untuk segelintir dari mereka yang bekerja di institusi formal. Sementara itu, mayoritas pekerja di sektor informal tidak punya kerangka finansial untuk hari tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun