Bayangkan kamu sedang antre vaksin di sebuah puskesmas, petugas menyuntikkan cairan yang katanya "aman dan sudah diuji". Tapi apa jadinya kalau sebenarnya vaksin itu masih dalam tahap eksperimen? Apa kamu yakin semua informasi yang kamu dapat benar-benar transparan? Hari ini, saat vaksin TBC baru sedang diuji di negara seperti Indonesia, ada satu pertanyaan besar yang tidak pernah dibahas di ruang publik: apakah kita sadar bahwa tubuh kita bisa saja sedang dijadikan objek riset, bukan subjek kesehatan?
Di balik keributan vaksin TBC hasil kerja sama dengan yayasan Bill Gates dan lembaga global, ada dinamika kekuasaan yang rumit. Tulisan ini bukan untuk membuat kamu takut pada vaksin, tapi justru mengajak kamu berpikir lebih dalam soal siapa yang mengambil keputusan atas tubuhmu. Karena saat kesehatan berubah menjadi proyek global bernilai miliaran dolar, yang paling pertama dikorbankan adalah suara orang biasa sepertimu.
Di Balik Nama Besar Bill Gates
Nama Bill Gates hampir selalu dikaitkan dengan inovasi teknologi dan kemanusiaan. Tapi di balik citra filantropinya, kamu perlu tahu bahwa yayasan yang ia dirikan punya peran strategis dalam arah kebijakan kesehatan dunia. Termasuk di dalamnya, riset dan pendanaan terhadap vaksin TBC terbaru yang kini sedang diuji di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.
Proyek vaksin ini memang terdengar menjanjikan. Tapi kenyataannya, vaksin yang diuji belum mendapat persetujuan akhir dari badan pengawas internasional seperti WHO atau FDA. Artinya, masyarakat yang menerima suntikan itu sebenarnya sedang berada dalam fase uji klinis tahap akhir fase paling menentukan sebelum vaksin dinyatakan layak edar.
Mengapa Indonesia dipilih? Selain karena tingginya angka TBC, Indonesia juga dikenal memiliki regulasi yang longgar dalam pengawasan uji klinis. Banyak studi menunjukkan bahwa negara dengan regulasi lemah cenderung dijadikan lokasi uji coba karena lebih mudah untuk menghindari resistensi sosial maupun birokrasi medis yang ketat.
Vaksin Sebagai Proyek Politik Global
Vaksin, sejak dulu, bukan hanya urusan laboratorium. Tapi instrumen kekuasaan. Saat pandemi COVID-19, kita melihat sendiri bagaimana negara-negara kuat memonopoli distribusi vaksin untuk rakyatnya sendiri. Negara-negara lemah? Harus menunggu giliran sambil menyesuaikan diri dengan syarat dan agenda negara donor.
Hal serupa kini kembali terulang dengan vaksin TBC. Proyek ini tidak hanya dimotori oleh kebutuhan medis, tapi juga oleh arah politik global yang dikendalikan lembaga donor dan perusahaan farmasi. Negara seperti Indonesia hanya dianggap sebagai "pasar potensial" dan sekaligus "tempat yang cocok" untuk uji coba karena struktur hukumnya dianggap bisa dinegosiasikan.
Dalam sistem seperti ini, sains berubah menjadi alat justifikasi. Masyarakat dihadapkan pada pilihan yang tampaknya rasional, tapi sebenarnya bisa jadi kita hanya kelinci percobaan. Karena kita tidak diberikan cukup informasi  tentang efek samping jangka panjang, siapa yang menyimpan data medismu tapi kita harus wajib vaksin .