Di sebuah kafe kecil di pinggiran Jakarta, Dina, 25 tahun, duduk di pojokan dengan laptop terbuka dan jari-jari yang lincah menari di atas keyboard. Ia tidak sedang bekerja untuk perusahaan mana pun. Ia juga tidak sedang mengerjakan proyek freelance. Ia sedang belajar coding dari nol. Dua bulan lalu, Dina kehilangan pekerjaannya sebagai staf pemasaran karena efisiensi perusahaan. Tapi hari itu, ia tidak lagi merasa kalah. "Aku sadar, menganggur itu justru bikin aku bisa lihat ulang siapa diriku, dan apa yang sebenarnya ingin aku kuasai," katanya pelan.
Cerita seperti Dina bukan satu-dua. Di Indonesia, jutaan orang terutama generasi muda mengalami apa yang disebut dilema pengangguran. Tapi sesungguhnya, ada celah yang jarang dibicarakan. Bahwa menganggur bukan hanya soal tidak punya pekerjaan, tapi soal bagaimana kamu melihat diri sendiri dalam pusaran dunia kerja yang berubah sangat cepat. Dan dari titik itulah, segalanya bisa dimulai lagi.
Menganggur Tidak Sama dengan Tidak Produktif
Dalam kebudayaan kita yang menjunjung tinggi kerja keras dan stabilitas finansial, menganggur sering kali langsung dikaitkan dengan kegagalan. Pertanyaan klise seperti "Sekarang kerja di mana?" bisa terasa seperti tembakan peluru bagi mereka yang sedang tidak memiliki pekerjaan tetap. Tapi pertanyaannya sekarang: apakah benar semua yang bekerja berarti sukses? Dan apakah semua yang menganggur berarti gagal?
Data dari BPS (Badan Pusat Statistik) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka di Indonesia per Agustus 2024 berada di angka 5,32%, atau sekitar 7,86 juta orang. Di antara mereka, sebagian besar adalah usia produktif, yaitu kelompok 20--34 tahun. Namun menariknya, survei dari LinkedIn pada 2023 mengungkapkan bahwa 61% pencari kerja aktif justru sedang meningkatkan keterampilan mereka selama periode tidak bekerja.
Artinya, ada pergeseran besar dalam cara orang melihat fase "jeda kerja". Banyak yang mulai memanfaatkan waktu tersebut untuk upgrade skill, mengambil pelatihan daring, atau bahkan mengganti jalur karir sepenuhnya. Ini bukan tentang pasif menunggu kesempatan datang, tapi tentang aktif membentuk diri menjadi pribadi yang lebih siap menghadapi pasar kerja yang makin kompetitif.
Ketika Dunia Kerja Berubah, Cara Kita Melihat Diri Juga Harus Berubah
Jika dulu lulusan perguruan tinggi cenderung masuk dunia kerja dan bertahan dalam satu jalur selama puluhan tahun, kini tidak lagi. Model kerja tetap (9 to 5) mulai digeser oleh proyek jangka pendek, kerja jarak jauh, dan sistem gig economy yang lebih fleksibel tapi menuntut adaptasi tinggi. Maka, definisi "bekerja" pun ikut berubah.
Menganggur dalam konteks ini tidak selalu berarti kehilangan pekerjaan, justru bisa menjadi peluang. Bayangkan, kamu punya waktu untuk menyusun ulang arah hidupmu. Bisa jadi kamu selama ini terjebak di jalur karir yang tidak sesuai passion, tapi tetap dijalani karena tuntutan ekonomi. Ketika kamu tidak lagi terikat pada pekerjaan itu, ada ruang untuk bertanya: "Aku mau jadi siapa sebenarnya?"
Dan di titik inilah, membangun potensi diri menjadi hal yang jauh lebih bermakna dibanding sekadar mengejar penghasilan bulanan. Menjadi siap bersaing bukan lagi soal ijazah atau pengalaman kerja panjang, melainkan sejauh mana kamu bisa membaca tren, belajar cepat, dan menunjukkan fleksibilitas di pasar yang selalu berubah.