Di dunia yang katanya sudah melek digital, penipuan online justru semakin menggila. Bukannya mereda, malah berkembang dalam bentuk-bentuk baru yang makin sulit dikenali. Yang paling mengejutkan: korban-korbannya bukan cuma orang tua yang gagap teknologi, tapi juga anak muda, profesional, bahkan orang yang mengaku "paham internet". Pertanyaannya bukan lagi bagaimana penipuan itu terjadi, tapi mengapa kita masih terus jadi korbannya?
Di sinilah letak ironi digital kita. Ketika literasi digital jadi jargon yang akrab di seminar dan kampanye pemerintah, realitanya di lapangan masih ada orang yang percaya kalau mereka menang undian dari nomor tak dikenal, atau ditawari kerja remote dengan gaji belasan juta hanya bermodal klik. Bukan salah mereka sepenuhnya. Tapi kalau kita tidak melihat lebih dalam akar masalahnya, maka siklus ini akan terus berulang dan dunia maya akan terus jadi ladang empuk para scammer.
Saat Dunia Maya Meniru Dunia Nyata dengan Lebih Cerdas
Penipuan di internet bukan lagi tentang email dari pangeran Nigeria yang butuh bantuan. Sekarang, mereka berkamuflase menjadi e-commerce ternama, platform investasi legal, bahkan aparat pemerintah. Mereka tak lagi sekadar mengincar orang awam, tapi membidik siapa pun yang lengah. Pendekatan mereka pun sudah berubah: bukan lagi menipu dengan kebodohan, tapi dengan kredibilitas.
Contohnya adalah fenomena social engineering metode manipulasi psikologis yang membuat korban dengan sukarela memberikan data penting, password, atau bahkan uang, tanpa sadar sedang ditipu. Pelaku bisa mengaku sebagai customer service, HRD perusahaan terkenal, bahkan teman lama yang muncul tiba-tiba. Mereka menyusup lewat saluran komunikasi yang kamu percaya: WhatsApp, Instagram, bahkan telepon langsung.
Kenapa itu berhasil? Karena para penipu sekarang memanfaatkan informasi publik yang kamu unggah sendiri. Jejak digital yang kamu tinggalkan mulai dari foto, lokasi, status, hingga siapa teman-temanmu semua bisa digunakan untuk menyusun skenario yang meyakinkan. Dunia digital kini tak ubahnya dunia nyata, dengan penipu yang lebih sabar, sistematis, dan nyaris tak terlihat.
Keamanan Digital Kata yang Sering Didengar tapi Jarang Dipahami
Sebagian besar dari kita mungkin sudah pernah mendengar pentingnya keamanan digital. Tapi berapa banyak yang benar-benar memahaminya? Apakah kamu rutin mengganti kata sandi? Apakah kamu menggunakan autentikasi dua faktor di semua akun penting? Apakah kamu membaca ulang alamat situs sebelum memasukkan data kartu kredit?
Kebanyakan jawabannya: tidak.
Di sinilah letak persoalannya. Literasi digital selama ini masih dipahami secara sempit sebagai "bisa pakai internet" atau "bisa main medsos". Padahal, itu baru permukaannya saja. Literasi digital seharusnya mengajarkan cara mengenali red flags, membaca pola komunikasi yang mencurigakan, dan berpikir kritis terhadap semua yang terlihat "terlalu bagus untuk jadi kenyataan".