Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Masyarakat Kita Masih Ogah Makan Ikan?

10 Mei 2025   12:44 Diperbarui: 10 Mei 2025   12:44 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ikan (UNSPLASH/Samuel C. )

Pernahkah kamu berpikir, kenapa di negara sekaya Indonesia yang laut yang luasnya luar biasa dan lengkap dengan keragaman didalamnya , ikan malah bukan pilihan utama di meja makan banyak keluarga? Bukan cuma kamu yang heran. Banyak orang juga menganggap ini aneh. Negara yang katanya penghasil hasil laut melimpah, tapi konsumsi ikan masyarakatnya tergolong rendah. Ini bukan cuma ironi, ini adalah cerminan kegagalan sistemik yang selama ini tidak kita sadari.

Indonesia bukan kekurangan ikan, tapi kita kekurangan alasan yang benar-benar kuat untuk membuat ikan jadi bagian utama dari budaya makan dan kita. Masalah ini jauh lebih dalam dari sekadar soal selera atau bau amis. Ini persoalan cara berpikir kolektif, arah pembangunan pangan, gizi, dan bagaimana kita selama ini memperlakukan laut sebagai objek ekonomi semata bukan sebagai sumber hidup yang layak dirayakan setiap hari.

Ikan Selalu Jadi Komoditas, Jarang Jadi Identitas

Kalau kita jujur, pendekatan negara terhadap ikan selama ini lebih banyak sebagai komoditas ekspor ketimbang sebagai bahan pangan rakyat sendiri. Kamu bisa cek data ekspor hasil laut terutama tuna, cakalang, dan udang yang tiap tahun menghasilkan triliunan rupiah. Tapi di saat yang sama, data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih di bawah target ideal nasional.

Jadi, pertanyaannya bukan "kenapa masyarakat ogah makan ikan", tapi "kenapa sistem kita tidak pernah serius memperlakukan ikan sebagai bagian dari budaya makan sehari-hari?". Selama ikan hanya diposisikan sebagai barang dagangan, bukan warisan kuliner, maka ia akan terus kalah dari ayam frozen dan makanan instan.

Negara seperti Jepang bisa mempertahankan konsumsi ikan karena dari kecil anak-anak mereka belajar mencintai laut, memahami nilai gizi ikan, bahkan punya ritual tersendiri dalam mengolah dan menyantapnya. Di Indonesia? Kita belajar bahwa makan ikan itu baik, tapi kita tidak pernah diajarkan mencintainya secara emosional.

Kota dan Desa Jarak Kultural Antara Laut dan Piring

Di pesisir, makan ikan adalah hal biasa. Tapi begitu kamu masuk ke kota-kota besar, pilihan pangan berubah total. Di sinilah terjadi yang disebut oleh sosiolog sebagai "dislokasi kultural" ketika masyarakat mulai menjauh dari akar sumber pangan mereka, dan menggantinya dengan simbol-simbol modernitas seperti makanan cepat saji, junk food, atau olahan berbasis daging sapi dan ayam.

Akses terhadap ikan segar juga bukan cuma soal distribusi fisik, tapi juga distribusi pengetahuan dan budaya. Di kota besar, masyarakat lebih familier dengan daging ayam karena praktis, tidak berbau, dan bisa disimpan lama. Ikan, sebaliknya, dianggap repot, cepat basi, dan "kurang keren" untuk dijadikan konten Instagram. Akibatnya, meskipun hasil laut kita melimpah, budaya makan ikan tidak ikut tumbuh di pusat-pusat populasi utama.

Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa banyak generasi muda kini tidak tahu cara memilih ikan segar, bahkan memasaknya pun tidak tahu. Sementara pasar swalayan besar lebih banyak menjajakan ikan beku impor ketimbang ikan segar lokal. Ini seperti mencabut masyarakat dari akarnya, pelan-pelan tapi pasti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun