Kita hidup di zaman yang terasa seperti masa keemasan manusia. Hampir semua hal bisa dilakukan hanya lewat ponsel di genggaman. Mau makan tinggal klik, mau bicara dengan orang di benua lain cukup satu panggilan video. Dunia terasa lebih dekat dan cepat. Tapi ada satu hal yang perlahan menjauh yaitu moral kemanusiaan kita sendiri.
Di tengah kemajuan informasi dan teknologi yang gila-gilaan, manusia justru seperti kehilangan arah. Kita begitu sibuk menciptakan alat-alat baru, mempercepat proses, memperluas jaringan, tapi lupa membangun fondasi utama yang seharusnya tidak pernah ditinggalkan moral.
Ironisnya, kita bangga menyebut diri sebagai "generasi paling terdidik", tapi data menunjukkan kita juga generasi paling rentan depresi, kecanduan digital, terpolarisasi secara sosial, dan miskin empati. Itu bukan kebetulan. Itu akibat dari peradaban yang lebih mementingkan kemajuan luar daripada kekuatan dalam.
Moral Kini Jadi Barang Antik di Museum Digital
Kalau kamu perhatikan cara manusia berinteraksi di media sosial hari ini, kamu akan sadar bahwa moral sudah seperti artefak yang ditaruh di museum. Dipajang sebagai simbol masa lalu, tapi tak lagi dipakai dalam kehidupan nyata. Semua orang bicara tentang nilai, tapi di saat yang sama, tak segan saling menjatuhkan demi engagement.
Moral hari ini bukan lagi kompas yang menuntun arah hidup. Ia berubah jadi label yang bisa diklaim siapa pun untuk membenarkan sudut pandangnya sendiri. Akibatnya? Kebenaran menjadi relatif, dan etika menjadi fleksibel tergantung siapa yang paling viral.
Masalahnya makin parah karena sistem digital tempat kita hidup saat ini tidak dirancang untuk menumbuhkan moral, tapi untuk memicu impuls. Algoritma dibuat untuk memperkuat apa yang ingin kamu lihat, bukan apa yang seharusnya kamu lihat. Maka jangan heran jika generasi muda hari ini lebih hafal tren TikTok daripada nilai Pancasila.
Kemajuan informasi seharusnya membuka cakrawala, tapi justru sering membentuk gelembung informasi yang sempit. Dalam gelembung itu, nilai hanya dipahami sepihak. Kita merasa paling benar, paling tahu, paling bermoral tanpa pernah benar-benar memahami makna moral itu sendiri.
Teknologi Tak Pernah Salah, Tapi Manusia Bisa Sangat Gagal
Teknologi itu netral. Ia bisa menyelamatkan hidup atau menghancurkannya, tergantung siapa yang menggunakannya. Masalahnya, kita hidup di tengah zaman di mana keterampilan teknologi jauh melampaui kedewasaan moral manusia yang mengoperasikannya.