Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita Hebat Membangun Peradaban, Tapi Gagal Menjadi Manusia

9 Mei 2025   15:38 Diperbarui: 9 Mei 2025   15:38 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak sekolah(canva.com)

Kita hidup di zaman yang terasa seperti masa keemasan manusia. Hampir semua hal bisa dilakukan hanya lewat ponsel di genggaman. Mau makan tinggal klik, mau bicara dengan orang di benua lain cukup satu panggilan video. Dunia terasa lebih dekat dan cepat. Tapi ada satu hal yang perlahan menjauh yaitu moral kemanusiaan kita sendiri.

Di tengah kemajuan informasi dan teknologi yang gila-gilaan, manusia justru seperti kehilangan arah. Kita begitu sibuk menciptakan alat-alat baru, mempercepat proses, memperluas jaringan, tapi lupa membangun fondasi utama yang seharusnya tidak pernah ditinggalkan moral.

Ironisnya, kita bangga menyebut diri sebagai "generasi paling terdidik", tapi data menunjukkan kita juga generasi paling rentan depresi, kecanduan digital, terpolarisasi secara sosial, dan miskin empati. Itu bukan kebetulan. Itu akibat dari peradaban yang lebih mementingkan kemajuan luar daripada kekuatan dalam.

Moral Kini Jadi Barang Antik di Museum Digital

Kalau kamu perhatikan cara manusia berinteraksi di media sosial hari ini, kamu akan sadar bahwa moral sudah seperti artefak yang ditaruh di museum. Dipajang sebagai simbol masa lalu, tapi tak lagi dipakai dalam kehidupan nyata. Semua orang bicara tentang nilai, tapi di saat yang sama, tak segan saling menjatuhkan demi engagement.

Moral hari ini bukan lagi kompas yang menuntun arah hidup. Ia berubah jadi label yang bisa diklaim siapa pun untuk membenarkan sudut pandangnya sendiri. Akibatnya? Kebenaran menjadi relatif, dan etika menjadi fleksibel tergantung siapa yang paling viral.

Masalahnya makin parah karena sistem digital tempat kita hidup saat ini tidak dirancang untuk menumbuhkan moral, tapi untuk memicu impuls. Algoritma dibuat untuk memperkuat apa yang ingin kamu lihat, bukan apa yang seharusnya kamu lihat. Maka jangan heran jika generasi muda hari ini lebih hafal tren TikTok daripada nilai Pancasila.

Kemajuan informasi seharusnya membuka cakrawala, tapi justru sering membentuk gelembung informasi yang sempit. Dalam gelembung itu, nilai hanya dipahami sepihak. Kita merasa paling benar, paling tahu, paling bermoral tanpa pernah benar-benar memahami makna moral itu sendiri.

Teknologi Tak Pernah Salah, Tapi Manusia Bisa Sangat Gagal

Teknologi itu netral. Ia bisa menyelamatkan hidup atau menghancurkannya, tergantung siapa yang menggunakannya. Masalahnya, kita hidup di tengah zaman di mana keterampilan teknologi jauh melampaui kedewasaan moral manusia yang mengoperasikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun