Coba kamu ingat-ingat, berapa banyak larangan yang kamu dengar sejak kecil tidur sore bikin gila, menyapu malam bisa mengusir rezeki, jangan duduk di bantal nanti bisulan. Kita tumbuh bersama itu semua, dan anehnya, sebagian besar dari kita bahkan masih menghindarinya, meski tahu penjelasan logisnya nol besar. Tapi pertanyaannya bukan lagi kenapa mitos itu tidak logis. Pertanyaannya justru: kenapa kita masih butuh mitos itu?
Mitos bukan soal bodoh atau pintar. Ia tidak hidup karena logika, tapi karena fungsi. Dan dalam masyarakat seperti kita yang hidup di tengah lapisan budaya, ketimpangan, trauma sejarah, dan ketidakpastian masa depan mitos bukan hanya bertahan. Ia berkembang, berubah bentuk, dan terus dipakai. Tulisan ini ingin mengajak kamu menyelami mitos bukan sebagai cerita konyol masa lampau, tapi sebagai refleksi dari luka dan logika kolektif yang belum sempat diberi nama.
Ketika Mitos Menjadi Bahasa Rasa Takut yang Tak Pernah Diajak Bicara
Yang jarang dibahas soal mitos adalah bahwa ia seringkali lahir dari trauma dan rasa takut yang tidak pernah terselesaikan. Di banyak desa, larangan pergi ke hutan sendirian bukan karena logika alam semata, tapi karena dulu ada kejadian nyata yang mengerikan. Namun karena tak ada mekanisme psikologis, sosial, atau hukum yang bisa membahasnya secara rasional, maka masyarakat membungkusnya dalam mitos. Mitos bukan hanya menyampaikan pesan "jangan lakukan ini", tapi juga menutupi luka, membuatnya terlihat "wajar".
Dalam hal ini, mitos bekerja seperti luka lama yang sudah kering tapi tidak pernah benar-benar sembuh. Kamu bisa menutupnya dengan kain, tapi tidak mengobatinya. Inilah mengapa di masyarakat yang pernah mengalami kekerasan, konflik, atau krisis berkepanjangan, kita bisa melihat mitos tumbuh subur. Ia seperti mekanisme pertahanan bawah sadar yang kolektif cara masyarakat untuk bilang "kami belum siap bicara soal ini, jadi kami ceritakan lewat cara lain."
Fungsi Simbolik Mitos Menjaga Struktur Sosial Tanpa Perlu Berdebat
Jika kamu perhatikan, hampir semua mitos punya efek sosial yang kuat. Ia mengatur, menakut-nakuti, membentuk perilaku, tapi dengan cara yang halus. Tidak seperti hukum yang harus ditulis, didiskusikan, bahkan diperdebatkan, mitos masuk lewat bisikan, lewat kepercayaan. Orang patuh tanpa perlu tanya kenapa. Dan ini jauh lebih efisien untuk masyarakat dengan struktur yang tidak terlalu hirarkis formal.
Misalnya, larangan untuk perempuan haid masuk ke dapur di beberapa daerah bukan cuma soal "kotor". Ada dinamika kuasa yang dilanggengkan lewat tradisi. Mitos dijadikan alat untuk mempertahankan posisi tertentu dalam masyarakat tanpa harus berkonflik secara terbuka. Dalam konteks ini, mitos berfungsi seperti "sistem operasi sosial" yang berjalan di latar belakang, tidak terlihat, tapi menentukan hampir semua tindakan kita.
Sialnya, karena ia tidak tertulis, ia juga sulit digugat. Bahkan ketika sudah tidak lagi relevan, mitos tetap hidup karena ada fungsi sosial yang belum tergantikan. Kita bisa menyebutnya pembatas kebebasan, tapi masyarakat bisa menyebutnya stabilitas.
Teknologi Tidak Membunuh Mitos, Ia Justru Membuatnya Lebih Canggih