Pernah nggak, kamu merasa bahwa negeri ini seperti orang yang sangat ambisius, tapi lupa siapa dirinya sendiri? Kita bicara soal revolusi industri 5.0, unicorn lokal, smart city, dan segala macam jargon futuristik. Tapi di saat yang sama, ada sesuatu yang hancur pelan-pelan di balik itu semua cermin moral kita sebagai bangsa. Lebih spesifik lagi, krisis moral di kalangan generasi muda yang seharusnya jadi penerus tongkat estafet menuju Indonesia emas.
Masalahnya bukan sekadar anak muda hari ini susah diatur atau lebih banyak main HP. Ini soal kehilangan kompas batin, soal hidup tanpa arah nilai yang jelas. Dan anehnya, banyak dari kita seolah setuju bahwa yang penting mereka pintar, produktif, dan bisa cari cuan. Padahal, tanpa moral yang kuat, semua itu cuma jadi bahan bakar untuk mempercepat kehancuran, bukan kemajuan.
Ketika Moralitas Tak Lagi Dianggap Kompetensi
Bayangkan sebuah perusahaan teknologi raksasa merekrut seribu anak muda terbaik dari seluruh Indonesia. Semuanya lulusan universitas top, jago coding, dan visioner. Tapi lima tahun kemudian, perusahaan itu bangkrut bukan karena kalah saing, melainkan karena korupsi internal dan konflik etika. Itulah metafora Indonesia saat ini.
Selama ini, kita memperlakukan moral seolah hanya pelengkap. Kalau seseorang pintar, ya sudah, itu cukup. Nilai hidup bukan indikator penting. Padahal, dalam jangka panjang, justru moral yang menentukan apakah kecerdasan itu akan membangun atau menghancurkan.
Sebuah survei oleh OECD bahkan menyebutkan bahwa negara dengan tingkat literasi moral yang tinggi justru punya stabilitas sosial dan ekonomi yang lebih baik. Negara-negara Nordik seperti Finlandia, misalnya, mengintegrasikan pelajaran etika dan empati dalam setiap jenjang pendidikan mereka, bukan hanya sebagai teori, tapi lewat praktik langsung.
Di Indonesia, sebaliknya. Pendidikan karakter masih diperlakukan seperti tempelan. Kamu mungkin ingat pelajaran "PPKn" yang membosankan, hafalan pasal-pasal, dan slogan tentang gotong royong yang bahkan guru sendiri tidak mempraktikkannya. Akibatnya? Generasi muda tumbuh dengan pengetahuan tinggi, tapi miskin arah.
Moral Bukan Warisan, Tapi Proyek Kebudayaan
Satu kesalahan besar kita adalah menganggap moral itu datang otomatis lewat usia atau tradisi. Padahal, moral adalah konstruksi budaya yang harus dipelihara secara sadar. Kalau kamu biarkan, dia akan terkikis. Dan ketika ekosistem moral di masyarakat rusak, generasi muda akan menyerap pola-pola destruktif itu sebagai hal yang normal.
Lihat saja sekarang. Di lingkungan digital, misalnya, konten prank yang melecehkan orang lain bisa lebih banyak ditonton daripada video edukasi. Bahkan, banyak anak muda yang menjadikan manipulasi, flexing, dan glorifikasi kekerasan sebagai gaya hidup. Ini bukan semata soal "salah pergaulan". Ini adalah hasil dari tatanan nilai sosial yang membiarkan kekacauan tanpa koreksi.