Pernah kepikiran nggak, kenapa teknologi yang berkembang secepat sekarang belum juga benar-benar menyentuh kehidupan mayoritas umat Islam Indonesia dari sisi nilai? Kita udah lama ngomongin keuangan digital, tapi entah kenapa, waktu bicara soal sistem syariah, rasanya masih banyak yang ragu. Bukan soal keyakinan, tapi soal kepraktisan. Seolah-olah antara nilai religius dan teknologi itu nggak bisa ketemu. Padahal justru di zaman serba digital ini, kita makin butuh sistem keuangan yang nggak cuma cepat, tapi juga bisa dipercaya dan sesuai prinsip hidup kita.
Di balik semua euforia soal bank digital, cashback, dan QRIS, ada pertanyaan besar yang sering nggak dilirik: apakah sistem keuangan syariah bisa benar-benar hidup di dalam ekosistem digital Indonesia yang makin kapitalistik ini? Dan kalau bisa, gimana caranya supaya tetap relevan, bukan cuma simbolik?
Di Antara Kapitalisme Platform dan Spirit Syariah
Kita hidup di masa ketika semua aktivitas keuangan mulai berpindah ke platform. Tapi masalahnya, sebagian besar dari platform itu didesain dengan prinsip kapitalisme ekstrem: kecepatan, skala besar, dan efisiensi maksimal nggak peduli soal nilai. Dalam dunia seperti ini, apa masih mungkin membangun keuangan digital yang berbasis syariah, yang justru menekankan keadilan, transparansi, dan keberkahan?
Di sinilah letak paradoksnya. Sistem syariah mengajarkan bahwa keuntungan harus seimbang dengan risiko, bahwa transaksi harus jujur dan jelas. Sementara dunia platform cenderung menormalisasi ketimpangan. Ambil contoh pinjaman online. Teknologi pinjol tumbuh karena dianggap efisien, tapi juga menciptakan banyak masalah sosial karena model bisnisnya sering mengabaikan prinsip keberadilan, bahkan kemanusiaan.
Kalau keuangan digital syariah mau relevan, maka dia nggak bisa sekadar mengikuti arus. Justru harus menantang cara kerja lama. Syariah dalam versi digital mestinya bukan copy-paste produk konvensional tapi dilabeli halal. Harus ada lompatan berpikir bahwa keuangan digital syariah bisa jadi bentuk kritik atas sistem keuangan hari ini yang sering bikin ketimpangan makin besar.
Teknologi Bisa Jadi Sekutu Asal Dipakai dengan Tujuan yang Benar
Banyak orang berpikir prinsip-prinsip syariah terlalu ribet untuk dunia digital. Akad, batasan riba, larangan gharar semua itu dianggap sulit diterjemahkan ke dalam bahasa teknologi. Tapi justru di sini letak peluangnya. Teknologi bukan musuh, malah bisa jadi alat bantu paling ampuh kalau digunakan dengan visi yang benar.
Bayangkan kalau sistem smart contract dalam blockchain digunakan untuk membuat akad-akad syariah otomatis, tanpa manipulasi. Atau platform bank digital yang bukan cuma menyimpan uang, tapi juga secara aktif mendidik pengguna tentang konsep bagi hasil, wakaf produktif, dan zakat berbasis data real-time. Ini bukan mimpi. Ini udah mulai dilakukan, walaupun belum banyak. Dan kebanyakan masih terbatas di inisiatif kecil atau pilot project.
Yang sering luput dibahas adalah bahwa sistem syariah punya daya tahan lebih baik dalam jangka panjang. Karena prinsip dasarnya adalah keberlanjutan, bukan eksploitasi. Ketika sistem digital konvensional mulai goyah karena krisis etika, keuangan syariah bisa muncul sebagai alternatif yang lebih manusiawi. Tapi itu cuma bisa terjadi kalau teknologinya memang dikembangkan dengan niat membangun nilai, bukan cuma untung.