Di kota-kota besar, saat malam mulai larut dan lampu gedung bersinar lebih terang dari bintang, ribuan orang masih terjaga. Sebagian bekerja lembur, sebagian lagi mengutuki saldo rekening yang belum cukup untuk sekadar bertahan. Di tengah keheningan itu, kamu mungkin sempat berpikir kalau uang tak bisa membeli kebahagiaan, kenapa semua hal dalam hidup ini rasanya ditentukan olehnya?
Kalimat "uang tidak bisa membeli kebahagiaan" terdengar seperti kalimat motivasi yang ingin meyakinkanmu bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi jika kamu pernah merasakan hidup dengan utang menumpuk, pekerjaan tidak manusiawi, atau tekanan ekonomi dalam keluarga, kamu tahu persis kalimat itu tidak selengkap kelihatannya.
Narasi Bahagia Itu Murah, Hanya Berlaku Jika Hidupmu Tidak Sedang Terbakar
Kita hidup di zaman di mana filosofi positif dipasarkan seperti produk seperti ringkas, manis, dan mudah ditelan. Tapi justru karena terlalu sering dikunyah tanpa direnungkan, kalimat seperti "kebahagiaan tidak bisa dibeli dengan uang" kehilangan konteks sosialnya. Ia seolah meletakkan beban kebahagiaan sepenuhnya di pundak individu, tanpa mempertimbangkan kenyataan struktural yang membentuk hidup seseorang.
Lalu muncullah romantisasi hidup sederhana. Bahwa asal kamu cukup bersyukur, kamu bisa bahagia. Tapi tidak ada yang romantis dari ibu tunggal yang harus bekerja dua shift agar anaknya bisa sekolah. Tidak ada yang puitis dari seseorang yang harus memilih antara obat atau makan malam. Bahagia mungkin bisa diciptakan dari hal-hal sederhana, tapi sederhananya hidup tidak selalu murah. Bahkan, seringkali justru sangat mahal.
Dalam konteks ini, kebahagiaan bukan hanya soal emosi, tapi soal kelayakan. Uang memang bukan sumber kebahagiaan, tapi ia bisa jadi penyangga penting agar kebahagiaan bisa tumbuh. Maka, ketika uang absen, bukan hanya kenyamanan yang hilang tapi fondasi hidup ikut goyah.
Antara Realita dan Imajinasi Kelas Menengah dan Ilusi Kebebasan Finansial
Menarik jika kita mengamati kelas menengah mereka yang bukan miskin tapi juga jauh dari kaya. Banyak dari mereka hidup dalam jeratan ilusi bahwa dengan kerja keras, semua akan terbayar. Bahwa suatu hari, setelah cukup lembur dan menabung, mereka bisa "bebas secara finansial". Tapi pada kenyataannya, itu semua bak ilusi karna sebagian besar dari mereka justru terjebak dalam siklus konsumsi dimana kerja untuk membayar gaya hidup yang katanya bisa membawa kebahagiaan.
Uang dalam konteks ini bukan lagi alat, tapi tujuan. Dan di situlah masalahnya. Ketika kebahagiaan diukur lewat pencapaian material, hidup jadi seperti lomba yang tak pernah selesai. Gaji naik, ekspektasi juga naik. Rumah harus lebih besar. Mobil harus lebih baru. Liburan harus lebih estetik di Instagram. Lalu kita bertanya-tanya kenapa masih merasa hampa meskipun sudah punya "semua".
Ilusi ini diperkuat oleh media sosial dan budaya populerdan menjadi tren sekarang ini. Kita dibombardir narasi bahwa kesuksesan adalah jumlah digit di rekening. Maka, orang yang tidak punya cukup uang merasa gagal. Padahal, mungkin mereka punya waktu luang lebih banyak, relasi keluarga yang hangat, atau kualitas tidur yang jauh lebih baik dari para pekerja kantor yang lemburnya tak dibayar.