Kamu mungkin mengira bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah angin segar di tengah kekhawatiran soal gizi anak-anak Indonesia. Sebuah langkah besar yang akhirnya muncul setelah bertahun-tahun isu stunting hanya jadi topik seminar. Tapi ketika berita keracunan MBG bermunculan, muncul pertanyaan yang lebih serius seberapa siap sebenarnya negara ini mengeksekusi niat baik jadi program nyata yang aman, berkelanjutan, dan tepat sasaran?
Apa yang terjadi dalam 4 bulan Makan Bergizi Gratis bukan sekadar insiden teknis. Ini cerminan dari pola lama dalam sistem birokrasi kita jalan pintas, tidak transparan, dan terlalu fokus pada peluncuran cepat tanpa memikirkan daya tahan sistemnya. Dan sayangnya, anak-anaklah yang kembali jadi korban.
Di Atas Kertas Manis, Tapi Beraroma Tergesa
Secara konsep, MBG bisa dikatakan punya tujuan yang sangat mulia kita perlu apresiasi itu. Program ini ingin memastikan anak-anak Indonesia terutama yang berasal dari keluarga tidak mampu mendapatkan asupan makanan bergizi setiap hari sekolah. Ini bukan cuma soal makan kenyang, tapi juga untuk menurunkan angka stunting dan mendukung perkembangan otak serta fisik mereka. Namun, niat baik saja tidak cukup.
Ketika sebuah program diluncurkan dalam waktu singkat tanpa uji coba bertahap, potensi celahnya pun membesar. Sumber di Kementerian Kesehatan dan beberapa laporan lapangan mengungkap bahwa proses pengadaan makanan dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, dengan sistem monitoring yang belum matang. Banyak pihak di daerah mengaku belum mendapat pedoman teknis lengkap, tapi diminta langsung mulai eksekusi.
Kita juga tidak bisa mengabaikan dan harus mengakui fakta bahwa pengadaan makanan bergizi itu kompleks mulai dari memilih menu, penyimpanan bahan pangan, hingga cara distribusi ke sekolah-sekolah ttermasuk daerah terpencil. Ketika semua itu dilakukan secara tergesa, kualitas rentan dikompromikan. Dan inilah yang kini menjadi sumber petaka.
Keracunan MBG Gejala dari Sistem yang Sakit
Kasus keracunan MBG yang terjadi di beberapa daerah seperti di Jawa Barat bukan hanya "kesalahan penyedia makanan." Ini gejala dari akar masalah yang jauh lebih dalam dan bisa dibling sangat kompleks.
Di banyak kasus, makanan disiapkan oleh vendor-vendor yang kita tidak tahu mereka memiliki standar industri makanan yang memadai atau tidak. Mungkin bahkan beberapa tidak memiliki izin edar atau kelengkapan legalitas usaha makanan. Tapi jika benar sangat keterlaluan mereka bisa lolos dalam proses seleksi ya mungkin karena aturan pengadaan yang longgar dan lemahnya verifikasi tidak ada yang tahu.
Bahkan, investigasi kecil yang dilakukan media lokal menemukan bahwa ada vendor yang baru didirikan dua minggu sebelum pengadaan dimulai. Kenapa bisa lolos? Karena sistem birokrasi di lapangan lebih sibuk mengejar kuantitas makanan yang dibagikan, daripada memastikan kualitas dan keamanan makanan itu sendiri.