Coba kamu tengok kehidupan hari ini. Kita hidup di zaman yang katanya modern, terhubung secara digital, dan penuh kemajuan. Tapi di balik semua yang terlihat bersinar dan serba otomatis itu, ada wajah-wajah buruh yang makin sulit dikenali. Mereka bukan lagi orang yang membawa palu atau bekerja di lantai pabrik berasap. Banyak dari mereka kini berada di balik layar ponselmu mengantar makanan, menyortir paket, mengetik konten, atau bekerja dari platform yang tak pernah memperkenalkan pemiliknya.
Inilah wajah baru buruh Indonesia. Mereka ada di mana-mana, tapi tak terlihat. Bekerja keras, tapi status hukumnya sering abu-abu. Dalam dunia yang serba digital dan fleksibel, status "pekerja" bukan lagi sesuatu yang pasti. Gojek, Grab, Shopee, TikTok, bahkan perusahaan outsourcing biasa menyamarkan relasi kerja dengan istilah "kemitraan". Kamu bisa dikeluarkan kapan saja, tanpa pesangon, tanpa perlindungan hukum, dan sering kali tanpa kejelasan.
Yang ironis, meski bekerja dalam ekosistem modern, kesejahteraan buruh justru makin jauh dari kata layak. Tidak ada jaminan pensiun, tak ada cuti, bahkan asuransi sering menjadi beban sendiri. Era industri 4.0 ternyata hanya mengubah wajah kerja, bukan memperbaiki kualitas hidup para buruhnya.
Dulu buruh dikenal lewat seragam dan peluh. Kini mereka menyamar sebagai akun layanan, konten kreator kelas bawah, atau tukang jasa yang bekerja tanpa kontrak. Dunia kerja memang berubah cepat, tapi sayangnya, kesadaran hukum dan perlindungan sosial tidak ikut berubah secepat itu.
Ketimpangan Modern Ketika Data Bekerja untuk Kapital
Kamu mungkin sering dengar bahwa teknologi bisa membuka peluang bagi siapa saja. Tapi apakah itu juga berlaku bagi buruh? Faktanya, teknologi hari ini tidak netral. Ia bekerja untuk mereka yang memiliki modal besar data dimiliki korporasi, algoritma dikendalikan pemilik platform, dan keuntungan mengalir ke kantong investor, bukan ke pekerja di ujung bawah rantai pasok.
Ketimpangan yang terjadi di Indonesia bukan cuma soal kaya dan miskin, tapi soal siapa yang menguasai sistem dan siapa yang dipaksa tunduk padanya. Ketika korporasi digital merekrut ribuan "mitra", mereka tidak mengeluarkan biaya untuk tunjangan, tidak membayar asuransi, dan tidak bertanggung jawab atas keselamatan kerja. Semua risiko dipindahkan ke pekerja. Ini bukan hanya ketimpangan ekonomi, tapi juga ketimpangan relasi kekuasaan.
Buruh Indonesia di era digital semakin terfragmentasi. Mereka tidak punya tempat untuk berserikat, karena status kerjanya tidak tetap. Mereka tidak bisa bicara langsung ke pengambil kebijakan, karena perusahaan tempat mereka bekerja bahkan tidak mengakui mereka sebagai karyawan. Ini membuat perjuangan kolektif makin sulit. Ketimpangan bukan hanya membungkam suara, tapi memisahkan pekerja satu sama lain.
Lebih buruk lagi, negara seperti tidak hadir. Alih-alih menantang kekuasaan platform digital, regulasi justru cenderung memfasilitasi fleksibilitas kerja demi "iklim usaha". Padahal kamu tahu, iklim usaha tanpa keadilan akan menghasilkan musim kemiskinan yang panjang.
Narasi yang Terbalik Buruh yang Harus Bersyukur Karena Bekerja