Pernah nggak kamu dengar teman sesama pria bilang, "Gue ogah vasektomi, takut jadi nggak laki"? Kalimat semacam ini terdengar sepele, tapi menyimpan masalah yang lebih dalam dari sekadar mitos medis. Di Indonesia, kita masih hidup di masyarakat yang membingkai maskulinitas dengan cara-cara lama laki-laki harus kuat, dominan, dan yang paling penting subur.
Di balik rendahnya angka partisipasi pria dalam program kontrasepsi, ada pola pikir kolektif yang sebenarnya butuh dibongkar. Lalu Kenapa kesuburan dianggap simbol harga diri? Dan bisakah vasektomi justru menjadi pintu masuk menuju redefinisi kejantanan yang lebih sehat dan berdaya?
Vasektomi Bukan Soal Medis, Tapi Soal Identitas
Ketika bicara tentang kontrasepsi vasektomi, kebanyakan diskusi terjebak pada teknis medis dimana prosedurnya cepat, tidak memengaruhi hormon, dan punya tingkat efektivitas hampir 100%. Tapi jarang ada yang membahas bahwa ketakutan pria bukan pada pisau bedah, melainkan pada makna simbolik dari 'dipotongnya' potensi mereka untuk membuahi.
Dalam budaya patriarki yang masih kental, kemampuan memiliki anak sering kali dijadikan tolak ukur kejantanan. Laki-laki yang subur, punya anak banyak, dan "produktif" secara biologis dianggap lebih 'berharga'. Maka tak heran kalau vasektomi dipandang sebagai bentuk kastrasi simbolis. Ini bukan tentang kehilangan fungsi fisik, tapi dianggap sebagai kehilangan kekuasaan.
Padahal, realitanya jauh berbeda. Pria yang melakukan vasektomi tidak kehilangan fungsi seksualnya, tidak kehilangan testosteronnya, bahkan tidak kehilangan kemampuannya untuk menikmati seks. Yang berubah hanyalah jalur keluarnya sperma. Tapi sayangnya, narasi ini tidak cukup kuat di tengah gempuran mitos dan tekanan sosial yang terus menerus menyudutkan mereka yang memilih vasektomi.
Negara, Agama, dan Ketakutan Pria yang Dilegalkan
Menariknya, ketakutan pria terhadap kontrasepsi bukan hanya tumbuh dari ruang privat atau lingkungan sosial kecil, tapi juga difasilitasi oleh institusi besar seperti negara dan agama. Di banyak daerah di Indonesia, kontrasepsi untuk perempuan masih lebih digencarkan melalui program-program pemerintah. Padahal, ketika metode seperti kontrasepsi vasektomi disosialisasikan, banyak pria langsung menolaknya mentah-mentah karena merasa tidak sesuai ajaran atau takut dicap "tidak jantan".
Beberapa tokoh agama bahkan mengeluarkan fatwa yang ambigu, yang semakin memperkuat stigma seolah vasektomi adalah bentuk melawan takdir Tuhan. Padahal, dalam realitas medis dan etik, kontrasepsi (termasuk vasektomi) bukan tentang melawan kehendak Tuhan, tapi tentang mengatur rezeki dan tanggung jawab sebagai manusia.
Di titik ini, negara seolah gagal memfasilitasi narasi yang adil. Kontrasepsi seharusnya bukan hanya tanggung jawab perempuan. Dengan kampanye yang berat sebelah, negara memperkuat bayang-bayang bahwa urusan tubuh dan kesuburan adalah urusan perempuan semata. Pria hanya diberi tempat sebagai penyokong, bukan subjek yang aktif dan punya kendali atas tubuhnya sendiri.