Jika dulu dompet adalah benda fisik yang kita bawa ke mana-mana, penuh uang tunai, kartu ATM, dan kadang nota belanja yang sudah lama dan udah kabur, kini semua itu perlahan berubah. Dompet tak lagi berbentuk. Dan dijalankan di aplikasi dalam ponselmu. Bahkan lebih dari sekadar tempat menyimpan uang, dompet masa kini bisa merencanakan keuanganmu, mengatur investasi, membayar tagihan, hingga memberi tahu kapan kamu boros. Dan di balik semua itu, ada satu mesin besar yang bekerja: bank digital. Tapi benarkah bank digital akan jadi dompet masa depan yang sesungguhnya? Atau ini hanya euforia sesaat dari industri teknologi keuangan?
Era Bank Digital Evolusi yang Tak Bisa Diputar Balik
Bank digital bukan lagi wacana masa depan. Mereka sudah hadir, tumbuh, dan makin mengakar di kehidupan sehari-hari. Keberadaan mereka bukan sekadar tren, tapi respons langsung terhadap perubahan besar dalam perilaku masyarakat. Generasi yang tumbuh dengan internet tak lagi sabar menunggu antrean di bank fisik, apalagi mengisi formulir berlembar-lembar hanya untuk membuka rekening.
Di Indonesia, lonjakan pengguna bank digital terjadi dalam lima tahun terakhir. Data OJK mencatat, hingga akhir 2023, tercatat lebih dari 20 juta pengguna aktif dari berbagai platform bank digital seperti Jago, Blu, hingga SeaBank. Lonjakan ini bukan hanya soal kepraktisan, tetapi hasil dari kebutuhan akan sistem yang lebih adaptif terhadap gaya hidup digital.
Namun menariknya, pergeseran ini bukan sekadar evolusi perbankan. Ia adalah bagian dari revolusi keuangan yang lebih besar. Di balik kemudahan membuka rekening lewat selfie atau transfer dengan satu klik, ada transformasi fundamental yang sedang terjadi dalam sistem finansial global. Model lama yang berpusat pada kantor cabang, jam operasional, dan proses manual, kini digantikan oleh sistem otomatis, berbasis AI, yang berjalan 24/7.
Lebih dari Sekadar Teknologi, Ini Soal Kuasa dan Arah Baru Ekonomi
Bank digital tak hanya menghadirkan teknologi canggih. Mereka juga mengubah siapa yang memegang kendali dalam dunia keuangan. Di masa lalu, institusi finansial besar seperti bank sentral, bank konvensional, dan lembaga keuangan negara adalah otoritas tunggal dalam mengatur arus uang. Tapi sekarang, perusahaan teknologi seperti Gojek, Shopee, dan Tokopedia ikut bermain dalam arena ini lewat anak perusahaan bank digital mereka.
Hal ini menciptakan lapisan baru dalam sistem finansial. Uang tak lagi hanya dikelola oleh bank, keuangan kini bisa dikelola lewat aplikasi. Tapi apa artinya ini bagi masyarakat? Di satu sisi, ini memperluas akses. Jutaan orang yang sebelumnya tidak memiliki rekening bank kini bisa masuk ke sistem ekonomi digital hanya dengan nomor ponsel dan KTP. Tapi di sisi lain, kuasa ekonomi perlahan bergeser dari tangan regulator negara ke entitas swasta berbasis teknologi.
Ini membuka pertanyaan yang lebih dalam sebenarnya siapa yang mengendalikan data finansialmu? Jika semua transaksi terekam, dianalisis, dan diproses oleh AI milik korporasi, di mana posisi kebebasan finansial individu? Di sinilah bank digital menjadi lebih dari sekadar alat. Ia adalah medan baru tempat kekuasaan, data, dan uang bertemu dalam bentuk yang belum pernah kita lihat sebelumnya.
Bank Digital dan Ilusi Kenyamanan ada  Risiko yang Tak Terlihat
Kita tidak bisa menutup mata bahwa bank digital menawarkan kenyamanan yang luar biasa. Namun di balik user interface yang elegan dan fitur-fitur pintar, ada tantangan serius yang sering luput dari perhatian. Salah satunya adalah soal keamanan dan stabilitas sistem.