Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Tinggi Investasi atau Beban Ekonomi?

29 April 2025   11:46 Diperbarui: 29 April 2025   11:46 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mahasiswa (Dok. Kemnaker)

Di tengah gempuran perubahan zaman, pendidikan tinggi sering dipuja-puji sebagai 'investasi terbaik' untuk masa depan. Tapi kalau kamu mau jujur sebentar saja, realitas di lapangan tak seindah brosur kampus. Dunia kerja berubah lebih cepat dari kurikulum. Gaji impian semakin jauh dari jangkauan. Biaya kuliah membumbung tanpa jaminan imbal hasil.
 Lalu, apakah pendidikan tinggi hari ini benar-benar masih investasi? Atau, lebih tragis lagi, apakah selama ini kita hanya terjebak dalam ilusi ekonomi yang dibungkus rapi dengan jargon sosial?

Ketika Ijazah Menjadi Mata Uang Sosial, Bukan Lagi Ekonomi

Sejak lama, gelar akademis diidentikkan dengan mobilitas sosial. Siapa yang bergelar sarjana dianggap otomatis naik kelas: dari anak desa ke profesional kota, dari keluarga sederhana ke kalangan terhormat. Namun kini, fungsi utama gelar berubah. Bukan lagi alat peningkatan ekonomi, melainkan alat validasi sosial.

Sebuah riset dari University of Chicago di tahun 2024 menemukan bahwa bagi banyak keluarga menengah ke bawah, keputusan membiayai kuliah anaknya tidak murni berdasarkan kalkulasi ekonomi, melainkan lebih pada tekanan sosial: demi status, demi harga diri, demi terlihat berhasil. Pendidikan menjadi simbol, bukan solusi.

Akhirnya, banyak lulusan baru yang terjebak dalam kontradiksi brutal: mereka punya gelar, tapi tidak punya keterampilan yang dibutuhkan industri. Mereka punya status sosial, tapi tidak punya daya beli yang memadai. Ini menjelaskan kenapa fenomena underemployment (bekerja di bawah kapasitas pendidikan) meningkat drastis di Indonesia, menurut data BPS 2023, mencapai 22% di kalangan lulusan perguruan tinggi.

Fakta ini membuka satu kenyataan pahit hari ini, ijazah lebih berfungsi sebagai tiket sosial ketimbang jaminan ekonomi. Lalu, apakah itu masih layak disebut investasi?

Harga Pendidikan Melambung, Nilai Riilnya Tergerus Inflasi Kompetensi

Biaya kuliah naik hampir di semua lini, namun yang lebih berbahaya adalah inflasi kompetensi. Artinya, apa yang dulu cukup hanya dengan gelar sarjana, sekarang butuh gelar magister, sertifikasi tambahan, portofolio, dan pengalaman kerja.  Pendidikan tinggi seolah dipaksa berlomba dengan dirinya sendiri.

Di Indonesia, biaya kuliah S1 di universitas negeri bergengsi kini rata-rata mencapai 8--15 juta rupiah per semester, belum termasuk biaya hidup di kota besar. Itu artinya, untuk satu gelar sarjana, kamu bisa menghabiskan lebih dari 100 juta rupiah. Padahal, menurut laporan dari Kelly Services 2024, gaji awal lulusan baru di kota besar seperti Jakarta rata-rata hanya berkisar di angka 4--6 juta rupiah per bulan. Secara matematis, butuh lebih dari 3 tahun gaji penuh hanya untuk menutup biaya pendidikan, belum termasuk bunga pinjaman, biaya hidup, dan inflasi.

Ironisnya, dunia kerja tidak lagi menilai berdasarkan berapa banyak uang yang kamu keluarkan untuk kuliah, melainkan seberapa cepat kamu bisa beradaptasi dengan kebutuhan industri yang terus bergeser. Sementara itu, kampus-kampus terutama yang fokus pada branding, bukan inovasi masih berkutat mengajarkan teori-teori lama yang usang, lebih sibuk mempercantik akreditasi ketimbang memperbarui kurikulum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun