Di tengah gempuran perubahan zaman, pendidikan tinggi sering dipuja-puji sebagai 'investasi terbaik' untuk masa depan. Tapi kalau kamu mau jujur sebentar saja, realitas di lapangan tak seindah brosur kampus. Dunia kerja berubah lebih cepat dari kurikulum. Gaji impian semakin jauh dari jangkauan. Biaya kuliah membumbung tanpa jaminan imbal hasil.
 Lalu, apakah pendidikan tinggi hari ini benar-benar masih investasi? Atau, lebih tragis lagi, apakah selama ini kita hanya terjebak dalam ilusi ekonomi yang dibungkus rapi dengan jargon sosial?
Ketika Ijazah Menjadi Mata Uang Sosial, Bukan Lagi Ekonomi
Sejak lama, gelar akademis diidentikkan dengan mobilitas sosial. Siapa yang bergelar sarjana dianggap otomatis naik kelas: dari anak desa ke profesional kota, dari keluarga sederhana ke kalangan terhormat. Namun kini, fungsi utama gelar berubah. Bukan lagi alat peningkatan ekonomi, melainkan alat validasi sosial.
Sebuah riset dari University of Chicago di tahun 2024 menemukan bahwa bagi banyak keluarga menengah ke bawah, keputusan membiayai kuliah anaknya tidak murni berdasarkan kalkulasi ekonomi, melainkan lebih pada tekanan sosial: demi status, demi harga diri, demi terlihat berhasil. Pendidikan menjadi simbol, bukan solusi.
Akhirnya, banyak lulusan baru yang terjebak dalam kontradiksi brutal: mereka punya gelar, tapi tidak punya keterampilan yang dibutuhkan industri. Mereka punya status sosial, tapi tidak punya daya beli yang memadai. Ini menjelaskan kenapa fenomena underemployment (bekerja di bawah kapasitas pendidikan) meningkat drastis di Indonesia, menurut data BPS 2023, mencapai 22% di kalangan lulusan perguruan tinggi.
Fakta ini membuka satu kenyataan pahit hari ini, ijazah lebih berfungsi sebagai tiket sosial ketimbang jaminan ekonomi. Lalu, apakah itu masih layak disebut investasi?
Harga Pendidikan Melambung, Nilai Riilnya Tergerus Inflasi Kompetensi
Biaya kuliah naik hampir di semua lini, namun yang lebih berbahaya adalah inflasi kompetensi. Artinya, apa yang dulu cukup hanya dengan gelar sarjana, sekarang butuh gelar magister, sertifikasi tambahan, portofolio, dan pengalaman kerja. Â Pendidikan tinggi seolah dipaksa berlomba dengan dirinya sendiri.
Di Indonesia, biaya kuliah S1 di universitas negeri bergengsi kini rata-rata mencapai 8--15 juta rupiah per semester, belum termasuk biaya hidup di kota besar. Itu artinya, untuk satu gelar sarjana, kamu bisa menghabiskan lebih dari 100 juta rupiah. Padahal, menurut laporan dari Kelly Services 2024, gaji awal lulusan baru di kota besar seperti Jakarta rata-rata hanya berkisar di angka 4--6 juta rupiah per bulan. Secara matematis, butuh lebih dari 3 tahun gaji penuh hanya untuk menutup biaya pendidikan, belum termasuk bunga pinjaman, biaya hidup, dan inflasi.
Ironisnya, dunia kerja tidak lagi menilai berdasarkan berapa banyak uang yang kamu keluarkan untuk kuliah, melainkan seberapa cepat kamu bisa beradaptasi dengan kebutuhan industri yang terus bergeser. Sementara itu, kampus-kampus terutama yang fokus pada branding, bukan inovasi masih berkutat mengajarkan teori-teori lama yang usang, lebih sibuk mempercantik akreditasi ketimbang memperbarui kurikulum.