Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fintech dan Pinjaman Online, Solusi Keuangan atau Penjara?

29 April 2025   08:38 Diperbarui: 29 April 2025   09:01 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pinjol. Pinjol bisa menyebabkan tindakan ekstrem seperti upaya mengakhiri hidup jika tidak segera dicegah.(Razorpay)

Bayangkan kamu hidup di desa terpencil di pelosok Indonesia. Tidak ada bank, tidak ada ATM, hanya jaringan internet yang kadang-kadang muncul dan kadang menghilang begitu saja. Tapi, tiba-tiba, lewat ponsel sederhana di tanganmu, kamu bisa meminjam uang, membeli asuransi, atau bahkan investasi emas. Ini bukan fiksi, ini realita yang diciptakan fintech.

Namun, jangan cepat terbuai. Ada ilusi besar yang perlahan menggerogoti narasi tentang inklusi keuangan. Kita terlalu cepat mengukur inklusi dari sekadar berapa banyak orang yang punya rekening atau akun aplikasi keuangan. Padahal, inti dari inklusi sejati adalah bagaimana layanan keuangan itu memperbaiki kualitas hidup, bukan sekadar menambahkan angka statistik.

Faktanya, laporan Bank Dunia 2024 menyebutkan, lebih dari 30% pengguna layanan keuangan digital di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, merasa tidak lebih "sejahtera" setelah mereka bergabung dengan sistem formal. Ini menunjukkan bahwa akses finansial tanpa pemahaman dan perlindungan justru bisa memperparah kerentanan, bukan menguranginya.

Fenomena ini membuat kita harus bertanya ulang: apakah yang selama ini kita rayakan sebagai "kemajuan" fintech, sebenarnya hanya memperhalus bentuk baru ketidakadilan ekonomi?

Fintech, Kredit Instan, dan Generasi Baru Konsumen Rentan

Salah satu janji besar fintech adalah memperluas akses kredit. Pinjaman daring bisa diakses dalam hitungan menit, tanpa jaminan, tanpa tatap muka. Tapi di balik kecepatan itu, muncul generasi baru konsumen yang makin rentan: konsumen impulsif yang tidak dibekali literasi finansial memadai.

Data dari Google Temasek Bain Report 2024 menunjukkan bahwa pengguna fintech pinjaman di Indonesia mayoritas berusia antara 19--35 tahun, kelompok usia produktif yang juga paling rentan terhadap perilaku konsumtif berbasis utang. Bahkan, riset Lembaga Demografi FEB UI 2023 menemukan bahwa 62% pinjaman daring digunakan untuk kebutuhan konsumsi harian, bukan pengembangan usaha atau investasi.

Ironis, bukan? Fintech yang digadang-gadang memperkuat sektor produktif, malah lebih banyak memfasilitasi gaya hidup "semu" yang berbasis utang konsumtif.

Kamu mungkin mengira bahwa semua pinjaman ini dilakukan dengan kesadaran penuh. Tapi kenyataannya, algoritma aplikasi fintech dirancang untuk mendorong pengambilan keputusan cepat. Teknik seperti gamifikasi, notifikasi agresif, dan "approval instan" membuat orang merasa meminjam uang itu semudah belanja online tanpa memberi waktu untuk berpikir matang.

Tanpa literasi keuangan yang dalam, konsumen mudah terjerat utang berbunga tinggi, jatuh ke siklus gali lubang-tutup lubang, dan akhirnya justru semakin terpinggirkan dari sistem finansial formal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun