Bayangkan kamu hidup di desa terpencil di pelosok Indonesia. Tidak ada bank, tidak ada ATM, hanya jaringan internet yang kadang-kadang muncul dan kadang menghilang begitu saja. Tapi, tiba-tiba, lewat ponsel sederhana di tanganmu, kamu bisa meminjam uang, membeli asuransi, atau bahkan investasi emas. Ini bukan fiksi, ini realita yang diciptakan fintech.
Namun, jangan cepat terbuai. Ada ilusi besar yang perlahan menggerogoti narasi tentang inklusi keuangan. Kita terlalu cepat mengukur inklusi dari sekadar berapa banyak orang yang punya rekening atau akun aplikasi keuangan. Padahal, inti dari inklusi sejati adalah bagaimana layanan keuangan itu memperbaiki kualitas hidup, bukan sekadar menambahkan angka statistik.
Faktanya, laporan Bank Dunia 2024 menyebutkan, lebih dari 30% pengguna layanan keuangan digital di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, merasa tidak lebih "sejahtera" setelah mereka bergabung dengan sistem formal. Ini menunjukkan bahwa akses finansial tanpa pemahaman dan perlindungan justru bisa memperparah kerentanan, bukan menguranginya.
Fenomena ini membuat kita harus bertanya ulang: apakah yang selama ini kita rayakan sebagai "kemajuan" fintech, sebenarnya hanya memperhalus bentuk baru ketidakadilan ekonomi?
Fintech, Kredit Instan, dan Generasi Baru Konsumen Rentan
Salah satu janji besar fintech adalah memperluas akses kredit. Pinjaman daring bisa diakses dalam hitungan menit, tanpa jaminan, tanpa tatap muka. Tapi di balik kecepatan itu, muncul generasi baru konsumen yang makin rentan: konsumen impulsif yang tidak dibekali literasi finansial memadai.
Data dari Google Temasek Bain Report 2024 menunjukkan bahwa pengguna fintech pinjaman di Indonesia mayoritas berusia antara 19--35 tahun, kelompok usia produktif yang juga paling rentan terhadap perilaku konsumtif berbasis utang. Bahkan, riset Lembaga Demografi FEB UI 2023 menemukan bahwa 62% pinjaman daring digunakan untuk kebutuhan konsumsi harian, bukan pengembangan usaha atau investasi.
Ironis, bukan? Fintech yang digadang-gadang memperkuat sektor produktif, malah lebih banyak memfasilitasi gaya hidup "semu" yang berbasis utang konsumtif.
Kamu mungkin mengira bahwa semua pinjaman ini dilakukan dengan kesadaran penuh. Tapi kenyataannya, algoritma aplikasi fintech dirancang untuk mendorong pengambilan keputusan cepat. Teknik seperti gamifikasi, notifikasi agresif, dan "approval instan" membuat orang merasa meminjam uang itu semudah belanja online tanpa memberi waktu untuk berpikir matang.
Tanpa literasi keuangan yang dalam, konsumen mudah terjerat utang berbunga tinggi, jatuh ke siklus gali lubang-tutup lubang, dan akhirnya justru semakin terpinggirkan dari sistem finansial formal.