Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kebagaiaan Bukan Barang, Tapi Cara Kita Melihat Dunia

28 April 2025   14:07 Diperbarui: 28 April 2025   14:07 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hidup bahagia (Pexels/JULIAN JAGTENBERG)

Apa jadinya kalau selama ini kita salah paham soal arti bahagia? Mungkin kebanyakan dari kita mengira kebahagiaan itu soal pencapaian yaitu punya rumah, punya pasangan ideal, penghasilan stabil, atau hidup nyaman tanpa beban. Tapi, bagaimana jika semua itu cuma ilusi? Bagaimana kalau ternyata konsep kebahagiaan yang kita kejar mati-matian justru menjauhkan kita dari bahagia itu sendiri?

Di zaman yang semuanya serba cepat, kita dipaksa percaya bahwa bahagia itu harus terlihat dan bisa diukur. Tapi kenyataannya, kebahagiaan jauh lebih dalam dari sekadar ekspresi wajah atau jumlah like di media sosial. Ia bukan tujuan, melainkan cara kita memaknai hidup. Dan itulah kenapa pembahasan tentang konsep kebahagiaan selalu relevan, tapi juga semakin mendesak untuk kita gali ulang.

Konsep Kebahagiaan Antara Narasi Global dan Realita Personal

Banyak budaya di dunia punya definisi sendiri soal kebahagiaan. Di Amerika, misalnya, "the pursuit of happiness" bahkan masuk dalam konstitusi negara. Di Jepang, konsep ikigai alasan untuk bangun setiap pagi jadi dasar makna hidup. Sementara di Bhutan, indeks kebahagiaan nasional (GNH) justru jadi alat ukur keberhasilan negara, bukan PDB.

Namun, yang menarik adalah bagaimana budaya global makin lama makin menyeragamkan konsep ini. Lewat media, kita dicekoki ide bahwa bahagia itu harus kaya, sukses, dan glamor. Iklan, sinetron, hingga influencer ikut membentuk standar palsu tentang kebahagiaan. Akibatnya, banyak orang hidup dalam perasaan gagal terus-menerus karena merasa belum mencapai "bahagia" versi pasar.

Padahal, kenyataan setiap orang berbeda. Seseorang bisa merasa sangat bahagia walau hidup sederhana di desa, sementara yang lain bisa merasa hampa di tengah gemerlap kota. Konsep kebahagiaan seharusnya tidak dibakukan. Ia adalah pengalaman pribadi yang dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, harapan, dan bahkan trauma yang kita bawa.

Dan di sinilah kesalahan besar sering terjadi: kita menyamakan kebahagiaan orang lain dengan milik kita, lalu merasa tidak cukup ketika tidak sama.

Apa Kata Ilmu tentang Kebahagiaan?

Sains modern mencoba menjawab apa itu kebahagiaan dari sisi biologi dan psikologi. Dalam tubuh kita, ada hormon-hormon yang disebut "hormon bahagia" seperti dopamin, serotonin, oksitosin, dan endorfin. Setiap hormon ini punya peran berbeda: dopamin untuk rasa puas setelah mencapai sesuatu, serotonin berkaitan dengan suasana hati, oksitosin muncul dari koneksi sosial, dan endorfin mengurangi rasa sakit.

Yang menarik, banyak dari hormon ini bisa dipicu tanpa harus punya uang banyak atau barang mewah. Tertawa, bersyukur, olahraga ringan, tidur cukup, bahkan pelukan sederhana bisa memicu reaksi kimia bahagia di otak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun