Pernah nggak kamu merasa tergoda untuk klik iklan investasi yang katanya bisa bikin uangmu berkembang cepat, cuma dari modal kecil? Kalau iya, kamu nggak sendirian. Tiap hari, ratusan ribu orang di Indonesia juga melihat janji-janji manis itu, dan sayangnya, sebagian besar dari mereka berakhir jadi korban.Â
Kenapa semua ini terus berulang? Kenapa, di era informasi segampang ini, orang masih bisa jatuh ke perangkap fintech ilegal? Jawabannya ternyata jauh lebih dalam dari sekadar "kurang literasi".
Mengapa Ilusi Kekayaan Lebih Kuat dari Fakta?
Saat bicara tentang investasi bodong atau penipuan online, banyak yang mengira masalah utamanya adalah ketidaktahuan. Padahal, masalah sejatinya ada pada ilusi kekayaan yang dengan sangat licin dikemas oleh para pelaku kejahatan digitaluntuk menipu para korbannya.
Dalam dunia psikologi, ada yang disebut wishful thinking  keinginan untuk percaya pada sesuatu hanya karena kita ingin itu terjadi. Misalnya, ketika seseorang yang penghasilannya pas-pasan melihat peluang investasi yang katanya bisa menghasilkan 20% dalam seminggu, keinginan untuk mempercayai lebih kuat dari logika sehat.
Para pelaku fintech ilegal menggunakan celah ini dengan sangat sangat baik . Mereka tahu bahwa orang yang tertekan secara ekonomi cenderung lebih mudah dibujuk, lebih siap untuk 'berjudi' dengan harapan bisa keluar dari kesulitan hidup.Â
Ini kenapa skema mereka selalu mengarah ke kelompok masyarakat berpenghasilan rendah sampai menengah, yang seringkali menganggap modal kecil adalah satu-satunya pintu masuk menuju perubahan nasib.
Fakta menarik: studi yang dilakukan oleh World Bank di 2022 menunjukkan bahwa 78% korban penipuan online di sektor finansial berasal dari kelompok yang sebelumnya sudah berada dalam kondisi keuangan yang rapuh.Â
Ini membuktikan bahwa masalah ini, bukan ketidaktahuan semata, tapi keinginan dan ambisi untuk merubah keadaan dengan cara instan.
Mesin Emosi di Balik Iklan Investasi