Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Ketika Gen Alpha Kecaduan Game Online, Apa yang Harus Kita Lakukan?

26 April 2025   12:10 Diperbarui: 26 April 2025   11:14 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak main game.(FREEPIK)

Pernahkah kamu duduk di samping anak kecil yang tak bisa lepas dari layar ponselnya? Saat dia tertawa, kesal, bahkan menangis karena kalah di game online bukan karena masalah di dunia nyata. Inilah kenyataan baru yang mungkin terasa asing bagi generasimu, tapi menjadi habitat alami bagi Gen Alpha, anak-anak yang lahir di era setelah 2010. Mereka bukan cuma melek teknologi. Mereka lahir dan besar di dalamnya. Dan ketika dunia virtual mulai menggantikan dunia nyata sebagai ruang hidup mereka, kita harus mulai bertanya apa sebenarnya yang sedang terjadi?

Bukan Salah Game, Tapi Pola Interaksi yang Bergeser

Kecanduan game bukanlah soal salah siapa, melainkan tentang bagaimana realitas anak-anak kita berubah. Generasi sebelumnya punya ruang terbuka untuk bermain dilapangan, jalanan, halaman rumah atau tempat-tempat lain. Tapi Gen Alpha dibesarkan dalam ruang yang makin sempit secara fisik, namun makin luas secara digital. Dunia mereka tidak lagi dibatasi tembok rumah, tapi terbuka lewat server global yang menghubungkan mereka dengan jutaan pemain lain yang punya hobby seperti mereka dalam hitungan detik.

Fenomena game online bukan sekadar soal permainan, melainkan sistem sosial baru dan sedang menggeser kebiasaan dulu. Di dalam game, anak-anak bisa menjadi siapa pun yang mereka mau, lebih kuat, lebih cepat, lebih diakui. Dalam dunia nyata, mungkin mereka merasa biasa saja, bahkan tidak dianggap. Tapi dalam game, mereka punya skor, ranking, guild, dan status. Inilah mengapa kecanduan game bukan hanya ketergantungan pada aktivitas, tapi juga keterikatan emosional terhadap identitas digital.

Dan ketika esports Indonesia berkembang pesat, lengkap dengan turnamen dan influencer yang dikagumi jutaan follower, anak-anak makin terdorong dan termotivasi untuk menganggap game bukan sekadar hiburan, tapi cita-cita dan membuat standar yang harus dilapaui. Sayangnya, cita-cita ini tidak selalu diiringi oleh realitas yang sepadan. Ratusan ribu anak ingin menjadi gamer profesional, padahal hanya segelintir yang benar-benar sampai.

Psikologi Dopamin dan Lingkaran Ketagihan yang Tak Terlihat

Jika kamu pikir kecanduan game cuma soal jadi malas belajar, kamu perlu melihat lebih jauh dan dalam. Ada proses biologis dan psikologis kompleks yang berjalan diam-diam. Game modern dirancang untuk memicu pelepasan dopamin, dopamin sendiri adalah zat kimia otak yang menciptakan rasa senang dan puas. Tiap kemenangan, tiap pencapaian level, tiap item langka semuanya jadi umpan untuk memancing dopamin.

Masalahnya, otak anak belum berkembang sempurna untuk mengatur impuls. Otak mereka belum cukup matang untuk menyeimbangkan antara kesenangan jangka pendek dan konsekuensi jangka panjang. Akibatnya, mereka cenderung mengulangi perilaku yang memberi kepuasan instan kepada mereka, dan lambat laun tanpa sadar sedang membentuk kebiasaan adiktif dan terus mengikat dan membuat kecanduan.

Studi dari Journal of Behavioral Addictions (2023) menunjukkan bahwa anak-anak yang menghabiskan lebih dari 3 jam per hari untuk bermain game memiliki risiko 2 kali lipat lebih tinggi mengalami gangguan fokus, kecemasan sosial, dan gangguan tidur. Namun efek yang paling sulit diukur adalah keretakan relasi antar manusia. Semakin sering anak berada di dunia game, semakin asing dunia nyatanya terasa.

Dunia Nyata yang Kehilangan Daya Saing

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun