Beberapa berita tidak sekadar mengabarkan peristiwa tentang Paus. Ia mengguncang. Menampar kesadaran. Kematian Paus Fransiskus adalah salah satu di antaranya. Bukan karena kita tidak tahu bahwa usia lanjut dan kondisi kesehatannya memang rentan, tapi karena dunia seolah masih sangat membutuhkan kehadiran figur seperti dia pemimpin yang lebih memilih jembatan daripada tembok, empati daripada ego, keberanian moral daripada formalitas agama.
Tapi sekarang, Paus Fransiskus telah tiada. Dan pertanyaannya bukan lagi siapa yang menggantikannya, melainkan apakah dunia cukup siap untuk menjaga nyala api warisan yang ia tinggalkan?
Sebuah Kepemimpinan yang Tidak Datang dari Tahta, Tapi dari Nurani
Ketika Jorge Mario Bergoglio terpilih menjadi Paus pada tahun 2013, banyak orang mengira ia hanyalah kelanjutan dari ritus Vatikan yang megah dan teratur. Tapi sejak hari pertama, langkahnya sudah mengguncang seluruh dunia. Ia menolak tinggal di Istana Kepausan dan memilih kamar tamu biasa. Ia menolak mobil mewah, dan terlihat naik bus bersama kardinal lain. Bahkan sepatunya bukanlah sepatu khas Paus, melainkan sepatu kulit cokelat yang telah lama ia pakai sejak di Buenos Aires.
Dari hal-hal kecil itu, sebuah pesan besar lahir, kepemimpinan tidak harus bertengger di singgasana. Ia bisa hadir dalam sikap sederhana, selama di dalamnya tertanam ketulusan dan keberpihakan.
Dalam dunia yang semakin dipenuhi narasi kekuasaan dan kapital, kehadiran Paus Fransiskus terasa seperti oksigen segar. Ia berbicara tentang hal-hal yang sering kali ditinggalkan pemimpin spiritual: ketimpangan global, pengungsi, kerusakan alam, eksploitasi ekonomi, bahkan sistem perbankan dunia. Dalam banyak kesempatan, Paus menyebut bahwa "ekonomi membunuh" ketika hanya memihak segelintir orang. Ini bukan ucapan sembarangan itu tamparan bagi sistem global yang sudah terlalu lama berjalan tanpa hati.
Dan yang paling mencolok, ia bicara bukan dari atas mimbar. Ia menyampaikan pesan-pesannya lewat kunjungan ke kamp pengungsi, mencium kaki narapidana, hingga memeluk anak-anak cacat dan para korban pelecehan gereja. Ini bukan pertunjukan. Ini adalah teologi yang diwujudkan secara radikal.
Mengubah Arah Gereja Tanpa Menabrak Akar
Banyak orang lupa bahwa dalam dunia keagamaan, perubahan itu rumit. Gereja Katolik adalah institusi yang sudah berdiri lebih dari 2000 tahun dengan doktrin yang sangat dijaga. Tapi Paus Fransiskus tidak menabrak doktrin ia menggoyangnya dari dalam.
Contoh paling relevan bisa kamu lihat dari caranya memandang keluarga, seksualitas, dan inklusivitas. Ia tidak serta-merta mengubah hukum kanonik, tapi membuka ruang diskusi tentang hal-hal yang selama ini dianggap tabu. Ia pernah berkata bahwa "Gereja bukanlah bea cukai iman, tapi rumah bagi semua."