Di tengah hingar-bingar perayaan Hari Kartini setiap tahun, ada satu pertanyaan besar yang kadang kita lupakan: masih adakah Kartini dalam diri bangsa ini? Bukan sekadar simbol di kalender atau tema lomba busana adat, tapi Kartini sejati, yang berani berpikir maju dan memperjuangkan masa depan bangsanya. Saat Indonesia hari ini lebih sibuk dengan seremonial daripada substansi, wajar bila kita bertanya: apakah Indonesia mulai kehilangan sosok Kartininya?
Pertanyaan ini bukan untuk menghakimi, tapi untuk mengajak kita semua berkaca. Kartini bukan sekadar nama; dia adalah api yang seharusnya terus menyala, menerangi jalan perempuan dan bangsa ini. Tapi, perlahan, kita mulai merasakan apinya meredup. Mari kita bicara jujur, karena hanya kejujuran yang bisa membawa perubahan.
Kartini Lebih dari Sekadar Seragam dan Peringatan
Setiap 21 April, kita melihat anak-anak sekolah memakai kebaya, lomba membaca puisi, atau seminar tentang perempuan. Di media sosial, bertaburan foto-foto bertagar #HariKartini. Namun, ketika gemerlap perayaan itu berlalu, berapa banyak dari kita yang sungguh-sungguh memahami nilai perjuangan Kartini?
Kartini adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, bukan semata-mata ikon fashion. Ia melawan sistem yang mengurung perempuan hanya di dapur dan kasur. Melalui surat-suratnya kepada teman-teman di Belanda, Kartini berbicara tentang pendidikan, kemerdekaan berpikir, dan keinginan membebaskan bangsanya dari belenggu ketidaktahuan.
Hari ini, sayangnya, banyak orang mengingat Kartini hanya sebatas perayaan tahunan. Semangatnya tenggelam dalam festival dan formalitas. Padahal, esensi perjuangan Kartini justru soal kerja keras membangun kualitas manusia, membebaskan pikiran, dan membuka akses pendidikan bagi semua, terutama perempuan.
Ini bukan soal nostalgia, tapi soal memahami bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang tak pernah melupakan ruh perjuangannya. Dan Kartini adalah bagian dari ruh itu.
Perempuan di Era ModernÂ
Zaman berubah. Kesempatan untuk perempuan Indonesia jauh lebih besar sekarang. Kita lihat perempuan menjadi menteri, CEO, pilot, bahkan komandan militer. Tidak seperti masa Kartini, di mana perempuan hampir tak punya ruang di ruang publik.
Namun ironisnya, dalam kebebasan itu, banyak perempuan justru terjebak dalam penjara baru yang lebih halus: standar kecantikan yang mengekang, budaya konsumtif yang menjerat, dan tuntutan media sosial yang membentuk identitas semu.