Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tenggelam di ARUS Rutinitas Tanpa Ujung, Kapan Kita Harus Istirahat?

15 April 2025   18:00 Diperbarui: 15 April 2025   15:49 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi lelah mental(Dok Kompas.com/Ahmet Misirligul)

Bayangkan hidup seperti sungai yang terus mengalir deras. Kamu ikut hanyut, terbawa arus, tanpa sempat bertanya ke mana arahmu. Mungkin sesekali kamu ingin berhenti, sekadar menepi, tapi air yang deras membuatmu sulit untuk keluar. Inilah realitas yang diam-diam dialami banyak orang hari ini tenggelam dalam rutinitas tanpa akhir, tanpa sempat benar-benar beristirahat.

Hidup modern memang  memberikan banyak kemudahan, tapi juga membawa tekanan yang sulit dihindari. Teknologi membuat kita bisa terhubung kapan saja dan di mana saja, tapi di saat yang sama, ia menciptakan ruang kerja yang tidak pernah benar-benar "tutup". Notifikasi tak henti berdentang, tuntutan sosial kian meningkat, dan waktu istirahat berubah menjadi kemewahan yang mahal. Kita menyebut ini kehidupan yang produktif, padahal sebenarnya kita sedang kelelahan.


Rutinitas dan Budaya Sibuk yang Menyita Hidup

Dalam masyarakat hari ini, sibuk sering dianggap sebagai simbol kesuksesan. Ketika seseorang bilang, "Aku nggak sempat, lagi sibuk banget," kita cenderung menganggapnya penting dan berharga. Sebaliknya, orang yang banyak istirahat, punya waktu luang, atau memilih jalur hidup lebih pelan, justru dianggap kurang ambisius atau tidak cukup produktif.

Fenomena ini terjadi hampir di semua lapisan masyarakat. Dari mahasiswa, pekerja kantoran, hingga ibu rumah tangga, semua dituntut untuk "melakukan lebih banyak dalam waktu lebih singkat". Multitasking menjadi kebiasaan yang dibanggakan, padahal riset dalam bidang psikologi menunjukkan bahwa multitasking justru menurunkan efisiensi dan meningkatkan stres.

Peneliti dari Stanford University bahkan menyebutkan bahwa orang yang terlalu sering melakukan multitasking cenderung memiliki performa kognitif yang lebih rendah dibanding mereka yang fokus pada satu tugas. Tapi budaya sibuk terlanjur dianggap normal. Kita takut terlihat santai karena merasa itu berarti kita tidak cukup berusaha.

Anehnya, semakin sibuk seseorang, semakin mereka merasa bersalah ketika beristirahat. Padahal, rasa bersalah ini tidak datang dari dalam diri, tapi dari tekanan sosial yang mengagungkan kelelahan sebagai harga dari keberhasilan. Ini adalah gejala yang tidak hanya melelahkan secara fisik, tapi juga berdampak ke kesehatan mental.

Kapan Kita Benar-Benar Butuh Istirahat?

Pertanyaan ini tampak sederhana, tapi menjawabnya sering kali sulit. Banyak orang tidak sadar bahwa mereka sudah melewati batas kemampuan tubuh dan pikirannya. Gejalanya tidak terlalu kelihatan. Kadang hanya berupa hilangnya minat terhadap hal-hal yang dulu menyenangkan, kesulitan tidur, atau mudah marah tanpa alasan jelas. Tapi jika dibiarkan terus-menerus, dampaknya bisa serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun