Pernah nggak sih, kamu merasa lebih stres saat menunggu hasil interview kerja daripada waktu ngerjain tugas akhir atau skripsi? Padahal, dari awal kamu udah datang tepat waktu, pakai baju rapi, udah riset tentang perusahaan, dan menyiapkan jawaban matang-matang. Tapi begitu masuk ruang interview, yang kamu temui malah pewawancara yang nggak antusias, baca CV kamu sambil lalu, dan bahkan kadang nanya hal-hal yang nggak nyambung sama pekerjaan. Ini bukan cerita satu-dua orang aja banyak pencari kerja di Indonesia yang mengalami hal serupa. Dan, ya, inilah kenyataan pahitnya interview kerja di Indonesia kadang memang tidak profesional.
Isu ini bukan cuma tentang kenyamanan pencari kerja. Lebih jauh lagi, ini soal kualitas rekrutmen, kredibilitas perusahaan, dan bagaimana profesionalisme kerja dibangun sejak awal. Tulisan ini mengajak kamu untuk menengok lebih dalam persoalan ini bukan untuk menyalahkan, tapi untuk membuka ruang diskusi, memahami akar masalahnya, dan mencari jalan keluarnya.
Profesionalisme yang Masih Dipahami Secara Sepihak
Banyak perusahaan di Indonesia yang menjunjung tinggi kata "profesional," tapi sayangnya sering kali itu hanya berlaku sepihak. Kandidat dituntut untuk tampil maksimal: harus datang tepat waktu, berpakaian sopan, menjawab pertanyaan dengan tenang, dan punya etika komunikasi yang baik. Tapi bagaimana dengan pewawancara?
Tidak jarang, pewawancara datang terlambat, tidak membaca CV sebelumnya, dan bahkan memulai interview dengan ekspresi bosan atau defensif. Hal-hal seperti ini mungkin terlihat sepele, tapi bagi seorang kandidat, itu bisa sangat memengaruhi mental dan rasa percaya diri. Proses interview adalah ruang dua arah bukan ruang interogasi satu pihak. Jika hanya kandidat yang diwajibkan "profesional," maka ini bukan proses rekrutmen yang adil, tapi sebuah panggung sandiwara dengan peran timpang.
Masalah lainnya adalah kurangnya standar yang jelas dalam proses rekrutmen. Banyak perusahaan yang tidak memiliki SOP rekrutmen yang baku, sehingga pewawancara bertindak berdasarkan kebiasaan pribadi, bukan pedoman profesional. Di sinilah pentingnya peran HR yang bukan hanya sebagai administrasi SDM, tetapi juga sebagai penentu budaya kerja yang sehat.
Kurangnya Etika dan Empati dalam Proses Interview
Etika dalam interview kerja bukan hanya tentang berbicara sopan atau menyapa dengan ramah. Lebih dari itu, etika menyangkut bagaimana perusahaan menghargai waktu, tenaga, dan harapan para kandidat. Namun, banyak kandidat yang merasa diperlakukan seperti "produk uji coba." Diundang interview tanpa informasi jelas, disuruh menunggu berjam-jam tanpa kejelasan, lalu dipulangkan tanpa ucapan terima kasih.
Belum lagi soal komunikasi pasca-interview. Tidak sedikit perusahaan yang abai memberikan kabar, bahkan hanya sekadar ucapan "terima kasih sudah mengikuti proses rekrutmen kami." Diam seribu bahasa seolah menjadi cara instan untuk menghindari tanggung jawab komunikasi. Padahal, bagi kandidat, kepastian (meski berupa penolakan) lebih baik daripada ketidakjelasan.
Empati juga sering kali hilang dari proses interview. Beberapa pewawancara bahkan melempar pertanyaan-pertanyaan yang tidak etis seperti, "Kamu yakin nggak mau nikah dalam waktu dekat?" atau "Kamu nggak keberatan kerja sampai malam terus kan? Soalnya di sini kita sering lembur." Pertanyaan seperti ini tidak hanya tidak relevan, tapi juga mencerminkan kurangnya sensitivitas terhadap hak-hak pribadi kandidat.