Bayangkan kamu sedang menikmati liburan impian di destinasi yang sudah lama kamu nantikan. Udara segar, suasana tenang, dan panorama alam yang menakjubkan menyambut kedatanganmu. Namun, di tengah keseruan itu, seseorang tiba-tiba menghampirimu dan meminta pungutan tambahan. Alasannya beragam mulai dari biaya parkir yang mendadak naik, tarif masuk yang lebih mahal dari informasi resmi, hingga pembayaran "sukarela" yang sebenarnya bersifat paksaan.
Pungutan liar atau pungli di sektor pariwisata bukan lagi sekadar cerita. Ini adalah kenyataan yang sering dialami banyak wisatawan, baik di kota-kota besar maupun di pelosok negeri. Pertanyaannya, mungkinkah kita bisa menikmati liburan tanpa pungli? Apakah destinasi wisata yang bebas dari pungutan liar hanya sekadar angan-angan, atau ada cara nyata untuk mencapainya?
Realitas Pungli di Tempat Wisata
Fenomena pungli di sektor pariwisata terjadi dalam berbagai bentuk. Di tempat-tempat wisata yang dikelola dengan kurang baik, sering kali tidak ada kejelasan mengenai tarif masuk atau biaya tambahan. Hal ini menciptakan ruang bagi pihak-pihak yang ingin mengambil keuntungan dengan menetapkan tarif di luar ketentuan resmi.
Pungli juga bisa muncul dalam bentuk jasa yang sebenarnya tidak diperlukan, tetapi dibuat seolah-olah wajib. Misalnya, di beberapa tempat wisata alam, wisatawan sering diminta membayar "pemandu lokal" yang sebenarnya tidak memiliki sertifikasi resmi dan tidak menawarkan layanan yang berarti. Ada juga pungutan liar di area parkir, di mana kendaraan dikenakan tarif tinggi tanpa tanda terima atau bukti resmi.
Yang lebih menyedihkan, pungli terkadang dilakukan secara terselubung oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam menjaga kenyamanan wisatawan. Oknum petugas keamanan, pengelola tempat wisata, hingga pedagang di sekitar lokasi bisa saja terlibat dalam praktik ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dampak Buruk Pungli terhadap Pariwisata
Pungli mungkin terlihat sebagai hal kecil, tetapi dampaknya bisa sangat besar bagi sektor pariwisata. Salah satu dampak paling nyata adalah turunnya tingkat kepuasan wisatawan. Jika seseorang mengalami pengalaman buruk akibat pungli, kemungkinan besar mereka akan enggan untuk kembali ke destinasi tersebut.
Lebih jauh lagi, pengalaman buruk ini bisa menyebar dengan cepat melalui ulasan di media sosial atau situs perjalanan. Di era digital seperti sekarang, satu ulasan negatif dapat berdampak luas dan mempengaruhi citra suatu destinasi wisata. Jika reputasi sebuah tempat sudah tercoreng karena pungli, akan sulit untuk mengembalikan kepercayaan wisatawan.
Dampak lainnya adalah menurunnya pemasukan resmi bagi daerah wisata. Jika pungli merajalela, pendapatan dari tiket masuk dan retribusi yang seharusnya digunakan untuk pengelolaan dan pengembangan destinasi justru masuk ke kantong pribadi oknum-oknum tertentu. Akibatnya, fasilitas wisata menjadi tidak terawat, infrastruktur rusak, dan kenyamanan wisatawan semakin menurun.