Setiap tahun, momen Lebaran selalu menjadi perayaan yang dinanti-nantikan. Setelah satu bulan penuh berpuasa, hari kemenangan dirayakan dengan kebahagiaan, silaturahmi, serta hidangan khas yang melimpah. Di setiap rumah, meja makan dipenuhi dengan ketupat, opor ayam, rendang, semur daging, aneka kue kering, dan beragam minuman manis yang menggoda selera. Namun, di balik kemeriahan tersebut, ada satu persoalan yang kerap luput dari perhatian: tumpukan sisa makanan yang berakhir menjadi sampah.
Setelah perayaan usai, banyak makanan yang tersisa dalam jumlah besar, entah karena berlebihan dalam memasak atau tamu yang datang lebih sedikit dari perkiraan. Akibatnya, makanan yang tidak sempat dikonsumsi mengalami pembusukan dan akhirnya dibuang. Sayangnya, fenomena ini bukan sekadar persoalan rumah tangga. Di berbagai daerah, terutama kota-kota besar, peningkatan volume sampah makanan saat Lebaran menjadi masalah lingkungan yang serius. Sampah makanan yang tidak dikelola dengan baik dapat memicu berbagai dampak negatif, mulai dari pencemaran lingkungan, meningkatnya emisi gas rumah kaca, hingga pemborosan sumber daya yang seharusnya bisa dimanfaatkan dengan lebih bijak.
Sampah Makanan Masalah yang Sering Dianggap Sepele
Kamu mungkin pernah mengalami situasi di mana makanan yang tersaji di meja Lebaran tidak habis dan akhirnya terbuang. Mungkin juga kamu berpikir bahwa membuang makanan bukanlah masalah besar karena makanan tersebut akan "terurai secara alami". Namun, anggapan ini keliru. Limbah makanan bukan sekadar tumpukan sisa makanan yang membusuk, melainkan salah satu penyumbang utama krisis lingkungan yang jarang disadari.
Menurut laporan dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP), sekitar 1,3 miliar ton makanan terbuang setiap tahunnya di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), sampah makanan yang terbuang berkisar antara 23 hingga 48 juta ton per tahun, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan limbah makanan tertinggi di dunia.
Ironisnya, di tengah tingginya angka limbah makanan, masih banyak masyarakat yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan. Data dari Global Hunger Index (GHI) menunjukkan bahwa jutaan orang di Indonesia masih mengalami kelaparan dan kekurangan gizi. Ini menandakan adanya ketimpangan besar antara produksi dan konsumsi pangan yang tidak seimbang.
Ketika makanan dibuang, sebenarnya bukan hanya makanannya saja yang terbuang, tetapi juga sumber daya yang digunakan untuk memproduksinya, seperti air, energi, dan lahan pertanian. Proses produksi makanan, mulai dari budidaya, distribusi, hingga penyimpanan, membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit. Sebagai contoh, untuk menghasilkan 1 kilogram daging sapi, dibutuhkan sekitar 15.000 liter air. Bayangkan jika makanan ini akhirnya dibuang begitu saja, berapa banyak sumber daya yang sia-sia?
Dampak Lingkungan dari Sampah Makanan yang Menggunung
Ketika makanan terbuang dan menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA), proses pembusukan yang terjadi akan menghasilkan gas metana (CH), salah satu gas rumah kaca yang memiliki dampak pemanasan global 25 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida (CO). Semakin banyak makanan yang terbuang, semakin tinggi pula emisi gas rumah kaca yang dihasilkan, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap perubahan iklim.
Selain itu, sampah makanan yang membusuk juga bisa mencemari tanah dan air. Cairan hasil pembusukan makanan, yang disebut lindi, dapat meresap ke dalam tanah dan mencemari sumber air tanah. Jika tidak ditangani dengan baik, pencemaran ini bisa berdampak buruk bagi ekosistem dan kesehatan manusia.