Pemerintah seharusnya menjadi pilar utama dalam menegakkan hukum dan menjaga ketertiban masyarakat. Namun, ketika berhadapan dengan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang melanggar aturan, pemerintah justru sering kali terlihat gamang, bahkan cenderung permisif. Fenomena ini bukan hanya sekadar anomali dalam tata kelola pemerintahan, melainkan juga sebuah ancaman serius bagi stabilitas sosial, politik, dan hukum di Indonesia.
Di berbagai negara, ormas berfungsi sebagai wadah aspirasi masyarakat, perpanjangan tangan demokrasi, serta mitra pemerintah dalam membangun bangsa. Namun, di Indonesia, ada beberapa ormas yang beroperasi di luar batas kewajaran, mengabaikan hukum, bahkan terkadang berkonflik dengan kepentingan nasional. Alih-alih menindak tegas, pemerintah justru sering bersikap lunak, seolah kehilangan otoritasnya di hadapan kelompok-kelompok tertentu. Lantas, mengapa fenomena ini terjadi? Apakah ini sekadar ketidaktegasan atau ada faktor lain yang lebih kompleks?
Antara Kekhawatiran dan Kepentingan
Dalam banyak kasus, lemahnya pemerintah terhadap ormas bukanlah sekadar akibat ketidaktegasan semata. Ada dinamika politik, sosial, dan bahkan ekonomi yang ikut mempengaruhi. Beberapa faktor utama yang menjadi penyebab lemahnya sikap pemerintah antara lain:
Pertama, keterkaitan politik yang begitu erat antara ormas dan elite kekuasaan. Beberapa ormas memiliki jaringan yang luas, bahkan terafiliasi dengan partai politik atau figur tertentu. Dalam situasi seperti ini, pemerintah cenderung bersikap lunak demi menjaga dukungan politik, terutama menjelang kontestasi elektoral. Tidak jarang ormas digunakan sebagai alat mobilisasi massa dalam pemilu atau kepentingan politik lainnya, yang membuat pemerintah enggan untuk mengambil tindakan tegas.
Kedua, ada faktor ketakutan akan ketidakstabilan sosial. Pemerintah sering kali khawatir bahwa tindakan keras terhadap ormas tertentu dapat memicu reaksi balik yang lebih besar, seperti demonstrasi, aksi kekerasan, atau bahkan kerusuhan. Dalam kondisi sosial yang sensitif, kebijakan yang diambil pemerintah harus penuh perhitungan. Namun, dalam beberapa kasus, perhitungan ini justru berujung pada kompromi yang merugikan wibawa negara.
Ketiga, lemahnya regulasi dan implementasi hukum. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebenarnya memberikan dasar hukum yang cukup kuat bagi pemerintah untuk menindak ormas yang bertindak di luar batas. Namun, implementasi di lapangan sering kali tidak efektif. Beberapa ormas tetap dapat beroperasi meskipun jelas-jelas telah melanggar aturan, baik dalam bentuk ujaran kebencian, kekerasan, maupun tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan Pancasila.
Dampak bagi Stabilitas Negara
Lemahnya sikap pemerintah terhadap ormas memiliki dampak yang jauh lebih luas daripada sekadar ketidakpatuhan hukum. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menggerogoti sendi-sendi negara dan menciptakan preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan.
Salah satu dampak paling nyata adalah hilangnya kepercayaan publik terhadap otoritas negara. Ketika masyarakat melihat ada kelompok tertentu yang bisa bertindak di luar hukum tanpa konsekuensi, mereka mulai meragukan integritas pemerintah dalam menegakkan aturan. Rasa ketidakadilan ini bisa menimbulkan ketidakpuasan sosial yang berujung pada instabilitas politik dan sosial.