Musik telah lama menjadi sarana ekspresi sosial yang kuat, membawa pesan-pesan yang mampu menggugah kesadaran publik. Dari lirik yang mengkritik sistem hingga nada yang membakar semangat perubahan, lagu sering kali menjadi refleksi dari keresahan masyarakat. Namun, bagaimana jika kebebasan tersebut justru dihadapkan pada batasan yang tak terlihat? Inilah yang terjadi pada band punk asal Purbalingga, Sukatani, yang lagunya, Bayar Bayar Bayar, mendadak menghilang dari peredaran.
Lagu tersebut, yang dianggap menyinggung institusi kepolisian karena menyoroti praktik pungutan liar, mendadak ditarik setelah viral. Dalam waktu singkat, para personel Sukatani menyampaikan permintaan maaf secara terbuka, menegaskan bahwa mereka telah menarik lagu tersebut dari semua platform digital. Peristiwa ini memunculkan pertanyaan besar: apakah ini bentuk kesadaran diri atau ada tekanan yang tidak terlihat? Lebih jauh, bagaimana kasus ini mencerminkan kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia?
Musik Sebagai Media Kritik Sosial
Musik selalu menjadi bagian dari perlawanan sosial. Dari era Bob Dylan yang menyuarakan ketidakadilan sosial hingga Iwan Fals yang berani mengkritik kebijakan pemerintah, sejarah telah membuktikan bahwa musik bisa menjadi alat kritik yang tajam. Genre punk, yang diusung oleh Sukatani, sendiri memiliki sejarah panjang dalam perlawanan terhadap sistem.
Lagu Bayar Bayar Bayar lahir dari keresahan yang nyata di masyarakat. Liriknya secara gamblang mengangkat isu pungli dalam layanan publik yang sering dikaitkan dengan oknum kepolisian, khususnya dalam proses pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan penanganan tilang. Kritik ini bukanlah sesuatu yang baru, karena praktik pungutan liar telah lama menjadi isu yang diperbincangkan di berbagai media. Namun, ketika kritik tersebut dituangkan dalam sebuah lagu dan menjadi viral, reaksi yang muncul justru berujung pada penarikan lagu itu sendiri.
Mengapa Lagu Ini Ditarik?
Salah satu hal yang paling menarik dari kasus ini adalah kecepatan dengan mana lagu Bayar Bayar Bayar menghilang dari peredaran. Setelah mendapat perhatian luas, dua personel Sukatani, Alectroguy dan Twister Angel, muncul dalam sebuah video permintaan maaf. Dalam video tersebut, mereka menyatakan bahwa lagu itu telah dihapus dari semua platform digital dan mengimbau penggemar untuk tidak lagi menyebarluaskannya.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah keputusan ini diambil secara sukarela? Ataukah ada tekanan dari pihak tertentu? Amnesty International Indonesia secara terbuka menyoroti kasus ini, menyatakan bahwa ada indikasi kuat bahwa band tersebut mengalami tekanan. Jika benar ada tekanan, hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia, di mana kritik terhadap institusi tertentu dapat berujung pada pembungkaman.
Kepolisian sendiri, melalui pernyataan resminya, membantah bahwa mereka menekan band tersebut untuk menarik lagunya. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, bahkan menyatakan bahwa institusi mereka terbuka terhadap kritik dan justru menjadikannya sebagai bahan evaluasi. Namun, pernyataan ini tidak serta-merta meredakan spekulasi yang berkembang di publik.
Ketakutan Kolektif dan Efek Jera