Sejak diperkenalkan pada tahun 2015, Dana Desa telah menjadi tonggak utama dalam pembangunan pedesaan di Indonesia. Program ini diklaim sebagai salah satu strategi paling progresif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dengan aliran dana yang mencapai ratusan triliun rupiah dalam satu dekade terakhir.
Tujuan besar di balik program ini sederhana namun krusial: meningkatkan kualitas hidup masyarakat desa melalui pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi, serta peningkatan akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Namun, meskipun investasi besar telah dilakukan, ada satu fakta yang masih sulit dipahami---angka stunting di Indonesia tetap tinggi dan tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan.
Fenomena ini tentu memunculkan banyak pertanyaan. Jika dana desa telah mengalir deras hingga ke pelosok, mengapa masalah stunting masih menjadi ancaman bagi generasi masa depan? Apakah ada yang salah dalam implementasi kebijakan ini? Ataukah stunting memang bukan sekadar persoalan ekonomi dan infrastruktur, melainkan masalah yang lebih kompleks dan membutuhkan pendekatan yang lebih mendalam?
Melalui artikel ini, kita akan mengupas lebih dalam paradoks antara besarnya kucuran Dana Desa dan stagnasi dalam upaya menurunkan angka stunting.
Pembangunan Desa yang Berjalan, tetapi Stunting Tak Berkurang
Selama sepuluh tahun terakhir, Dana Desa telah digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur di pedesaan. Jalan-jalan desa diperbaiki, jembatan dibangun, sarana air bersih diperbanyak, dan berbagai program lain diluncurkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa. Namun, keberhasilan ini ternyata belum cukup untuk mengatasi salah satu tantangan terbesar dalam pembangunan manusia: stunting.
Stunting adalah kondisi di mana pertumbuhan fisik dan perkembangan otak anak terhambat akibat kekurangan gizi kronis dalam seribu hari pertama kehidupan. Data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2023 menunjukkan bahwa angka stunting nasional masih berada di angka 21,6%, hanya mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan, di beberapa daerah, angkanya tetap stagnan atau bahkan meningkat meskipun Dana Desa terus dikucurkan.
Fakta ini menunjukkan bahwa ada masalah mendasar yang belum terselesaikan. Pembangunan infrastruktur fisik memang penting, tetapi apakah cukup untuk mengatasi persoalan yang bersumber dari pola asuh, gizi, sanitasi, dan akses kesehatan yang buruk?
Mengapa Dana Desa Belum Mampu Menekan Angka Stunting?
Salah satu kendala utama dalam menekan angka stunting melalui Dana Desa adalah orientasi pengelolaan dana yang masih terlalu berfokus pada pembangunan infrastruktur fisik. Banyak kepala desa yang lebih memilih membangun jalan, jembatan, dan balai desa karena proyek-proyek ini lebih mudah diukur hasilnya dan lebih "terlihat" dampaknya oleh masyarakat. Sementara itu, program yang berkaitan dengan kesehatan, gizi, dan pola asuh sering kali hanya menjadi pelengkap atau bahkan terabaikan.