Bayangkan seorang petani di pelosok Jawa Tengah yang setiap pagi bangun sebelum matahari terbit, berjalan menuju sawah dengan cangkul di bahu, dan berharap hujan segera turun untuk menyelamatkan tanamannya yang mulai menguning.Â
Namun, di luar kendalinya, harga pupuk melonjak, subsidi semakin sulit diakses, dan program penyuluhan pertanian yang biasa mendampinginya kini tak lagi tersedia.
Keadaan ini bukan sekadar cerita fiktif, melainkan kenyataan yang dihadapi banyak petani di Indonesia. Pemerintah, melalui kebijakan efisiensi anggaran, memotong dana di berbagai sektor, termasuk pertanian.Â
Bagi sebagian kalangan, kebijakan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk menyehatkan keuangan negara, tetapi bagi petani kecil yang menggantungkan hidup dari tanah garapan mereka, ini bisa menjadi pukulan telak yang mengancam kesejahteraan.
Lalu, bagaimana dampak pemangkasan anggaran ini terhadap sektor pertanian? Apakah kebijakan ini benar-benar diperlukan, atau justru akan membawa dampak negatif bagi ketahanan pangan nasional?
Mengapa Kementerian Pertanian Masuk dalam Daftar Efisiensi Anggaran?
Ketika berbicara tentang pemotongan anggaran, banyak yang bertanya-tanya mengapa sektor pertanian yang strategis justru masuk dalam daftar efisiensi? Bukankah sektor ini adalah tulang punggung ketahanan pangan nasional?
Alasan utama di balik efisiensi anggaran adalah upaya pemerintah dalam menyeimbangkan keuangan negara dan mengoptimalkan belanja yang lebih efektif.Â
Dalam beberapa tahun terakhir, defisit anggaran negara meningkat, terutama akibat beban subsidi energi, infrastruktur, serta dampak ekonomi global yang bergejolak. Pemerintah pun mulai menyisir kementerian dan lembaga mana saja yang dapat melakukan efisiensi tanpa mengganggu program prioritas nasional.
Namun, pemotongan anggaran pada Kementerian Pertanian memunculkan dilema. Sektor ini berperan besar dalam menjaga stabilitas harga pangan, meningkatkan kesejahteraan petani, serta mendorong pertumbuhan ekonomi pedesaan.Â