Di era digital yang serba cepat ini, satu cuitan, unggahan, atau pernyataan bisa menjadi awal dari runtuhnya karier seseorang. Sebuah opini yang dianggap kontroversial dapat mengundang gelombang protes dari warganet, yang pada akhirnya berujung pada boikot besar-besaran. Fenomena ini dikenal sebagai cancel culture, sebuah istilah yang mungkin terdengar baru tetapi sebenarnya bukanlah sesuatu yang sepenuhnya asing dalam sejarah peradaban manusia.
Cancel culture pada dasarnya adalah praktik sosial di mana individu atau kelompok yang dianggap melakukan kesalahan moral, sosial, atau politik "dibatalkan" oleh publik. Artinya, mereka dikecam, dijauhi, atau bahkan kehilangan pekerjaan dan reputasi mereka. Namun, apakah ini benar-benar bentuk keadilan sosial yang efektif, atau justru hanya menjadi alat untuk melanggengkan budaya perundungan dalam skala yang lebih besar?
Fenomena ini begitu luas dampaknya, tidak hanya dalam dunia hiburan, politik, dan media sosial, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Cancel culture mempengaruhi cara kita berinteraksi, berpikir, dan bahkan membentuk kebudayaan kita sendiri. Namun, sejauh mana pengaruh ini dapat dianggap positif, dan kapan ia mulai menjadi masalah yang justru merusak tatanan sosial?
Cancel Culture Dari Sejarah hingga Era Digital
Meskipun istilah "cancel culture" baru populer dalam dekade terakhir, praktik serupa sebenarnya sudah ada sejak lama. Dalam berbagai peradaban, masyarakat memiliki cara untuk menghukum individu yang dianggap melanggar norma. Misalnya, dalam masyarakat kuno, pengucilan sosial adalah hukuman yang sangat serius, di mana seseorang bisa kehilangan status, pekerjaan, atau bahkan hak hidupnya.
Dalam dunia modern, bentuk lain dari "pembatalan" bisa dilihat dalam praktik boikot yang dilakukan oleh aktivis terhadap perusahaan yang dinilai tidak etis. Contohnya adalah gerakan boikot terhadap rezim apartheid di Afrika Selatan, yang akhirnya berkontribusi pada runtuhnya sistem diskriminasi tersebut. Namun, yang membedakan cancel culture masa kini adalah kecepatannya. Dengan adanya media sosial, sebuah gelombang protes dapat muncul dalam hitungan jam, dan konsekuensinya bisa sangat drastis bagi individu atau organisasi yang terkena dampaknya.
Di era digital, cancel culture bisa menyerang siapa saja, mulai dari figur publik hingga individu biasa yang tiba-tiba viral karena satu pernyataan atau tindakan yang dianggap salah. Perbedaannya, jika dalam praktik lama seseorang masih punya kesempatan untuk memperbaiki citranya, dalam cancel culture modern, hukuman bisa bersifat permanen. Banyak kasus di mana seseorang kehilangan pekerjaan, karier, atau bahkan kesehatan mental mereka akibat tekanan dari publik.
Dampak Cancel Culture terhadap Kebudayaan Kita
Cancel culture tidak hanya menjadi sekadar tren internet, tetapi juga mulai membentuk cara kita berpikir dan berperilaku dalam masyarakat. Ada dua sisi dari fenomena ini yang patut diperhatikan: dampak positif yang membawa perubahan sosial dan dampak negatif yang berisiko menciptakan ketakutan serta penyensoran berlebihan.
Salah satu dampak positif dari cancel culture adalah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap berbagai isu sosial. Banyak kasus yang sebelumnya diabaikan, seperti pelecehan seksual, rasisme, dan korupsi, kini mendapatkan perhatian lebih besar. Contohnya adalah gerakan #MeToo, yang mendorong banyak korban pelecehan seksual untuk berani berbicara dan melawan pelaku. Cancel culture dalam hal ini berperan sebagai alat untuk menegakkan keadilan dan memastikan bahwa mereka yang berkuasa tidak kebal terhadap konsekuensi atas tindakan mereka.