Setiap kali hari raya semakin dekat, suasana di pusat perbelanjaan maupun platform e-commerce berubah drastis. Keramaian meningkat, antrean kasir mengular, dan promo-promo besar-besaran membanjiri etalase toko serta laman digital. Dari kota besar hingga pelosok desa, masyarakat begitu antusias memburu berbagai keperluan mulai dari pakaian, makanan, hingga pernak-pernik dekorasi rumah. Seolah-olah ada dorongan yang tidak bisa ditolak, yang membuat kita selalu ingin berbelanja lebih banyak dari biasanya.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Perayaan seperti Idulfitri, Natal, Imlek, Deepavali, atau bahkan Tahun Baru menjadi momen di mana tingkat konsumsi masyarakat melonjak drastis. Tetapi, apa sebenarnya yang mendorong kita untuk lebih konsumtif menjelang hari raya? Apakah ini sekadar tradisi atau ada faktor psikologis dan ekonomi yang lebih kompleks?
Psikologi di Balik Euforia Belanja Hari Raya
Jika diperhatikan lebih dalam, dorongan untuk berbelanja menjelang hari raya tidak sekadar berasal dari kebutuhan, tetapi juga dari emosi dan psikologi sosial. Para ahli perilaku konsumen menemukan bahwa perasaan bahagia dan antusias terhadap hari raya memicu keinginan untuk membeli sesuatu yang baru.
Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh psikolog konsumen Kit Yarrow, dijelaskan bahwa berbelanja bukan hanya tentang mendapatkan barang, tetapi juga tentang pengalaman emosional. Proses memilih, membeli, hingga membayangkan bagaimana barang tersebut akan digunakan di hari raya memberikan kepuasan tersendiri. Inilah yang disebut sebagai shopping euphoria, di mana belanja menjadi cara untuk mengekspresikan kegembiraan.
Selain itu, ada konsep psikologis yang dikenal sebagai ritualistic shopping, yaitu kebiasaan berbelanja yang telah menjadi bagian dari ritual atau tradisi tahunan. Misalnya, dalam budaya masyarakat Indonesia, membeli baju baru untuk Lebaran bukan hanya sekadar gaya, tetapi juga bagian dari simbolisasi menyambut hari kemenangan dengan sesuatu yang bersih dan segar. Hal ini telah dilakukan sejak lama dan terus diwariskan dari generasi ke generasi.
Strategi Pemasaran yang Mempengaruhi Perilaku Konsumen
Tidak dapat disangkal bahwa industri ritel dan e-commerce sangat memahami pola perilaku konsumtif masyarakat menjelang hari raya. Mereka dengan cermat menerapkan berbagai strategi pemasaran untuk mendorong lebih banyak transaksi, mulai dari diskon besar-besaran, bundling produk, hingga penggunaan teknik pemasaran berbasis urgensi seperti flash sale atau limited stock.
Konsep ini juga diperkuat dengan teori loss aversion, yang dikembangkan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky dalam riset ekonomi perilaku mereka. Teori ini menjelaskan bahwa manusia cenderung lebih takut kehilangan sesuatu dibandingkan dengan mendapatkan sesuatu. Ketika melihat iklan bertuliskan "Diskon 70% hanya hari ini!", kita merasa seolah-olah akan kehilangan kesempatan besar jika tidak segera membeli. Inilah yang akhirnya mendorong keputusan impulsif dalam berbelanja.
Selain itu, tren belanja online juga semakin memperkuat kebiasaan konsumtif. Dengan algoritma yang menyesuaikan iklan berdasarkan preferensi pengguna, konsumen terus menerus terpapar dengan produk-produk yang menggoda, bahkan tanpa mereka sadari.